UNSUR-UNSUR PERSONAL MANUSIA

Manusia adalah makhluk sentral di planet ini. Selain penciptaannya paling sempurna dan seimbang, makhluk-makhluk lain yang ada seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan diciptakan untuk kepentingannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.1 Hak pemakmuran dan pengelolaan bumi beserta isinya diberikan kepada manusia sebagai konsekuensi logis atas kesediaannya memangku amanah Allah subhānahū wa ta„ālā. Ketika amanah itu ditawarkan kepada makhluk-makhluk yang ada saat itu (langit, bumi, dan gunung), semuanya menolak, kecuali manusia, meskipun dengan itu ia kemudian dianggap zhalūman jahūlā (zalim dan bodoh).2 Sebagai pemangku amanah wajar apabila ia diberi berbagai keistimewaan hidup, dilengkapi berbagai instrumen pada dirinya untuk memudahkannya dalam tugas, seperti indra, akal, dan kalbu. Dengan pemanfaatan secara baik instrumen-instrumen itu sesuai dengan tuntunan Allah subhānahū wa ta’ālā, maka label zalim dan bodoh dengan sendirinya tereduksi atau tereliminasi sama sekali. Sebaliknya, apabila instrumen itu tidak dimanfaatkan untuk kebaikan maka label itu akan tetap melekat pada dirinya, bahkan istilah yang digunakan Al-Qur′an adalah “laksana binatang ternak bahkan lebih rendah (lebih dungu) dari itu”.3Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna dan paling baik struktur tubuhnya (ahsanu taqwīm) maka setiap individu harus mengupayakan secara maksimal agar memiliki tingkat spiritualitas yang baik pula. Sebab kalau tidak, maka ia akan mengalami degradasi, meluncur hingga strata lebih rendah daripada hewan melata. Pada situasi ini, kesempurnaan kejadian dan struktur tubuh yang baik tidak lagi memiliki makna apa-apa apabila tidak dibarengi dengan tingkat spiritualitas yang tinggi pula. Hal ini dapat dipahami dari rangkaian Surah at-Tīn/95: 4-6 sebagai berikut:
95_4-6
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. (at-Tīn/95: 4-6)
Hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas manusia inilah yang dibahas dalam rangkaian tulisan ini, khususnya unsur-unsur yang ada pada diri manusia, makhluk paling sempurna dan paling baik struktur tubuhnya. Dimulai dengan memapar-kan penciptaan awal manusia, terdiri atas unsur tanah yang dapat dikategorikan sebagai unsur negatif, dan unsur roh yang dianggap sebagai unsur positif, bersinergi membangun sebuah kehidupan. Kemudian secara berturut-turut dibahas pula tentang unsur fisik, roh, akal, nafsu, dan kalbu sebagai rangkaian bangunan personal manusia.
A. Penciptaan Awal Manusia
Secara sederhana kita menyebut asal usul manusia dari tanah. Adam diciptakan dari tanah, sementara anak cucunya dari saripati (ekstrak) tanah yang terkandung dalam spermatozoa dan ovum. Pada penciptaan awal, manusia dibentuk dari tanah yang diterjemahkan dari beberapa term yang digunakan Al-Qur′an, yaitu turāb, tīn, hama′in masnūn, dan tsaltsāl. Term-term ini dalam Bahasa Arab memiliki makna berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa unsur-unsur tersebut mengalami suatu proses kreatif, kemudian ditiupkan padanya roh dari (ciptaan) Allah subhānahū wa ta„ālā sehingga menjadi suatu bentuk yang sama sekali berbeda (khalqan ākhar) dengan unsur awalnya.
Keempat term yang mengandung unsur tanah yang disebut oleh Al-Qur′an dapat dicermati dalam ayat-ayat di bawah ini.
1. Term turāb, diartikan sebagai tanah atau partikel debu tanah,4 dijumpai dalam Surah Āli Imrān/3: 59, al-Kahf/18: 37, al-Hajj/22: 5, ar-Rūm/30: 20, Fāthir/35: 11, Ghāfir/40: 67. Salah satu di antara ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!‟ Maka jadilah sesuatu itu. (Āli Imrān/3: 59)

2. Term tīn yang diartikan sebagai tanah liat (lempung) atau ekstrak tanah liat,5 dijumpai dalam Surah al-Mā′idah/5: 110, al-An’ām/6: 2, al-A’rāf/7: 12, 17: 61, al-Mu′minūn/23: 12, as-Sajdah/32: 7, shād/38: 71, 76. Salah satu ayat yang jelas-jelas menyatakan penciptaan awal manusia dari tanah liat (tīn) adalah
Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (as-Sajdah/32: 7)
3. Term hama′in masnūn dimaknai sebagai lumpur hitam yang pekat, dijumpai dalam ayat ke-26, 28, dan 33 dari Surah ke-15 (al-Hijr), kesemuanya berhubungan dengan proses penciptaan manusia. Proses pada tahap hama′in masnūn merupakan proses transisi antara tīn dengan shalshāl. Surah al-Hijr/15: 26 menjelaskan sebagai berikut:
Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (al-Hijr/15: 26)

4. Term shalshāl yang diartikan sebagai bentuk tembikar kering sebelum proses pembakaran.
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. (ar-Rahmān/55: 14)
Ketika proses awal penciptaan manusia secara fisik sampai pada tahap shalshāl, Allah meniupkan roh padanya sehingga terciptalah manusia secara utuh sebagaimana ditegas-kan di dalam Surah al-Hijr/15: 28-29 6
15-28-29
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (al-Hijr/15: 28-29)
Kata an-nafkh bermakna meniupkan udara melalui mulut, tapi bisa juga mengandung makna metafor (majāz). Dalam konteks metafor, al-Alūsī memberi penjelasan meniupkan di sini bukan dalam arti sebenarnya, tetapi sebagai gambaran pengaktifan (turn on) terhadap kehidupan potensial (al-hayāt bil-malakah) menjadi kehidupan aktual (al-hayāt bil-fi‘il).7 Dengan demikian, paling tidak ada dua pemaknaan terhadap meniupkan roh pada makhluk manusia awal penciptaannya, dengan mengalirkan udara (rūh) yang menyebabkan terjadinya kehidupan, dan yang kedua melakukan pengaktifan dari kehidupan potensial menjadi aktual. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, an-nafkh inilah yang menyebabkan adanya sisi dalam (al-jānib ar-rūhī) pada manusia selain sisi luarnya (al-jānib al-māddī) yang kita kenal dengan jasad.
Sesudah proses penciptaan manusia pertama yang unik ini lahirlah anak cucu yang berkembang biak dari generasi ke generasi hingga mencapai bermiliar-miliar saat ini. Surah an-Nisā′/4: 1 menjelaskan tentang hal ini:
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (an-Nisā′/4: 1)
Manusia keturunan Adam (banī/dzurriyāt Ādam) dan pasangannya (zaujahā) beregenerasi dengan pola pertemuan antara sel laki-laki dan sel perempuan (sperma dan ovum) kemudian berproses menjadi janin, lahir, tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, sampai pada saat tertentu beralih ke alam akhirat. Lembaga pernikahan berfungsi memfasilitasi umat manusia agar status makhluk mulia yang beradab tetap disandang oleh setiap individu dari generasi ke generasi.
Sebagai manusia ia memiliki jasad dengan mekanisme biologis yang rumit dan mewadahi roh yang menjalankan fungsi-fungsi kehidupan, akal pikiran yang menjadi basis intelektualitas, nafsu yang menjadi pendorong dinamika sikap dan tingkah laku, serta kalbu yang menjadi pemandu dan hakim kebaikan, menyatu dalam membangun kehidupan yang harus dipertanggungjawabkan secara individu di hadapan Allah subhānahū wa ta’ālā.
B. Unsur Fisik
Pertumbuhan dan perkembangan manusia dimulai dari pertemuan sel laki-laki dan perempuan yang sangat menakjubkan. Dari sekian juta sperma yang mungkin mendekati ovum hanya satu yang mampu menembus masuk, lalu yang lainnya sama sekali tak memiliki peluang lagi untuk menyusul masuk membuahi. Mana yang lebih dahulu dapat menembus kulit ovum maka itulah yang membawa gen. Dari yang tunggal itulah kemudian berproses menjadi janin di dalam rahim sampai pada saatnya (pada umumnya sekitar sembilan bulan) lahir ke dunia sebagai wujud manusia yang unik (unique, tiap-tiap individu dengan gen dan karakteristiknya masing-masing).
Di dalam Al-Qur′an proses pertumbuhan dan perkembangan ini diterangkan dengan sangat jelas, berawal dari sel-sel pembawa genetika lalu berubah menjadi janin (fetus), lahir, tumbuh dan berkembang sebagai manusia, kemudian wafat menunggu proses kehidupan selanjutnya di alam lain (akhirat). Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan hal ini, dua di antaranya sangat terperinci, masing-masing Surah al-Mu′minūn/23: 12-16 dan al-Hajj/22: 5. Ayat-ayat pada surah yang pertama menerangkan reproduksi manusia fase demi fase selama masa pralahir, dan yang kedua selain menjelaskan tentang fase-fase perkembangan janin manusia di dalam rahim juga mengemukakan perkembangan setelah kelahiran hingga mencapai usia lanjut (pikun). Surah al-Mu′minūn/23: 12-16 berikut ini:
23_12-16
Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian setelah itu, sesungguhnya kamu pasti mati. Kemudian, sesungguhnya kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari Kiamat (al-Mu′minūn/23: 12-16)
Dari ayat ini dapat dipahami fase pertumbuhan dan perkembangan manusia pralahir sebagai berikut:
1. Fase nuthfah (tetesan sperma, spermatozoa), yang memiliki sifat dinamis (memancar) dan terus bergerak (sebagaimana dijelaskan Surah al-Qiyāmah/75: 37; an-Najm/53: 46; Ath-thāriq/86: 6-7) untuk mencapai sel telur (ovum) yang siap untuk dibuahi.
2. Fase ‘alaqah atau fase gumpalan darah, atau yang bergantung/melekat pada dinding uterus/rahim. „Alaqah ini pada umumnya diartikan sebagai gumpalan darah, namun dapat pula diartikan sebagai jantung yang berfungsi memompa darah, karena bagian itu yang pertama berproses untuk menyuplai makanan ke seluruh jaringan. Bucaille mengartikan agak lain, yaitu sesuatu yang bergantung atau melekat pada sesuatu yang lain, karena janin tidak pernah mengalami perubahan dalam gumpalan darah.8
3. Fase mudhgah (gumpalan daging), yaitu proses dari gumpalan darah menjadi gumpalan daging yang masih sangat lembut. Mudhgah itu bentuknya seperti daging yang dikunyah, karena ia telah memiliki jaringan otot disebut dengan lahm.9
4. Fase terbentuknya tulang (‘izhām) yang terbalut oleh daging, jaringan, dan otot.
5. Fase janin dalam bentuk sempurna ketika organ-organ tubuh telah lengkap dan telah pula memiliki roh yang menjadikannya hidup sebagai manusia. Dalam ayat di atas kondisi pada tahap ini disebutkan sebagai makhluk dalam bentuk lain (ansya′nāhu khalqan ākhar), karena tidak lagi hanya terdiri atas jaringan, otot, dan daging belaka, tetapi telah berubah bentuk menjadi manusia sempurna, jasad dan roh. Roh ini berasal dari unsur suci yang dimasukkan ke dalam jasad.10
Sementara itu, Surah al-Hajj/22: 5 (bandingkan dengan Surah Ghāfir/40: 67), selain menjelaskan tentang proses janin di dalam rahim, juga menerangkan perkembangan manusia setelah lahir hingga mencapai usia lanjut atau meninggal dunia sebelum itu.
22_5
Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah. (al-Hajj/22: 5)
Dari ayat ini dapat dipahami fase-fase pertumbuhan dan perkembangan manusia pra dan pascalahir. Pascalahir atau pascanatal meliputi fase-fase berikut:
1. Fase bayi dan anak-anak (thifl), yaitu masa sejak persalinan hingga menjadi anak-anak yang mulai beranjak remaja. Dalam kamus Lisānul-‘Arab, Ibnu Manshūr menjelaskan bahwa anak disebut thifl sejak lahir hingga balig11 (أَلصَّبِيُّ يُدْعَى طِفْلًا حِيْنَ يَسْقُطُ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ اِلَى اَنْ يَحْتَلِمَ
 Fase ini, jika ditinjau dari sudut taklīf, adalah fase persiapan menerima tanggung jawab hukum sebagai hamba Allah subhānahū wa ta’ālā. Tidak ada implikasi hukum terhadap semua perbuatan yang dilakukan pada masa ini. Dalam psikologi, yang tinjauannya pada perbedaan tingkah laku, fase ini umumnya dibagi menjadi tiga bagian: babyhood, early childhood, late childhood (bayi, kanak-kanak, anak-anak).
2. Fase balig hingga dewasa (litablughū asyuddakum) yaitu masa ketika perubahan mendasar dalam kehidupan terjadi. Pada fase ini puncak kekuatan fisik dialami oleh manusia, dan dorongan-dorongan syahwat sangat deras bersamaan dengan terjadinya kematangan (maturation) secara seksual. Sejak fase ini pula manusia mempunyai konsekuensi terhadap semua perbuatan-nya di hadapan Allah subhānahū wa ta’ālā. Tak satu pun tindakan yang tidak memiliki implikasi hukum (nilai), dan akan terakumulasi hingga akhir hayat. Setiap individu akan mempertanggungjawabkan apa saja yang dilakukannya sejak hari pertama ia balig hingga meninggal dunia. Tanda dimulainya fase ini adalah ketika terjadi perubahan hormonal di dalam tubuh dan tingkat maturasi yang cukup untuk bereproduksi. Pada wanita ditandai dengan haid (menstruasi) dan pada pria berupa ihtilām (mimpi basah, mimpi dewasa) selain perubahan pada bagian tubuh atau organ-organ tertentu dan juga pada tingkah laku. Dari segi mental pada usia ini anak telah dianggap mampu bertanggung jawab sehingga tonggak taklīf dimulai dari sini. Menurut hemat penulis, rentang fase ini cukup panjang karena tinjauan Al-Quran terutama didasarkan pada implikasi hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh manusia di hadapan Allah subhānahū wa ta’ālā. Dalam psikologi fase ini umumnya dibagi menjadi empat fase lagi: puberty, early adolescence, late adolescence, adulthood (pubertas, remaja awal, remaja akhir, dan dewasa), karena pembagiannya didasarkan pada perbedaan tingkah laku.
3. Fase usia lanjut (arzhalul-‘umur, atau di ayat lain disebut, syuyūkh dan ‘ajūz)12, yaitu fase ketika melewati masa puncak kekuatan fisik lalu menurun kembali menjadi tidak berdaya. Istilah yang digunakan di dalam ayat di atas adalah „yuraddu‟ yaitu sebuah proses pengembalian atau penurunan kembali berbagai kemampuan yang pernah dicapai. Dalam psikologi fase ini umumnya dibagi menjadi middle age dan senescence (paruh baya dan lansia atau manula/manusia lanjut usia) yang ditandai dengan menurunnya kemampuan-kemampuan fisik, memori, dan lain-lain.
Unsur fisik manusia terdiri atas organ-organ tubuh yang dipenuhi sel-sel, jaringan otot dan syaraf, bekerja bersama-sama menurut suatu sistem dalam mengatur keseimbangan tubuh untuk dapat tetap bertahan hidup. Keseimbangan biologis (homeostatis) digambarkan oleh Al-Qur′an dalam Surah al-Infithār/82: 7.

Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (al-Infithār/82: 7)
Menurut al-Khāzin, manusia diciptakan dari tiada menjadi ada, dapat mendengar dan melihat, memiliki kelengka-pan anggota badan yang serba seimbang, simetris dan selaras, anggota badan yang satu tidak lebih panjang dari yang lainnya.13 Fungsi-fungsi organ itu pun juga serba seimbang, misalnya, jika bilik jantung sebelah kiri membuka maka yang sebelah kanannya menutup, begitu seterusnya bekerja menurut fungsinya secara otonom dan berkelanjutan. Aliran darah dari dan ke jantung dilakukan melalui saluran arteri dan vena secara teratur. Bahkan, ginjal manusia bekerja dua puluh empat jam untuk membersihkan darah dari racun dan sampah-sampah metabolisme sekitar seribu tujuh ratus liter perhari. Semua itu bekerja untuk menyehatkan dan menyeimbangkan kondisi tubuh manusia.
Keberadaan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, liver, ginjal, begitu pula mekanisme indra, syaraf simpatetis dan parasimpatetis, secara bersama-sama dengan roh, nafsu, akal, dan kalbu, menjalin suatu mekanisme yang rumit dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Hal ini harus menjadi penyadaran diri manusia tentang dirinya sendiri agar mensyukuri Penciptanya. Wajar apabila Allah subhānahū wa ta’ālā mengingatkan agar manusia memperhatikan apa yang ada dalam dirinya.
Dan (juga) pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan? (adz-dzāriyāt/51: 21)
Dalam diri manusia terdapat banyak hal menakjubkan. Dari sisi fisik saja, bagaimana kelengkapan dan keseimbangan anggota badan, persendian, berbagai indra, otot, susunan syaraf, memberi keleluasaan manusia untuk melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Ibnu ‘Āsyūr mencoba  menguraikan tafsir ayat tersebut dengan menyebutkan betapa pentingnya merenungkan penciptaan manusia, dari air berubah setahap demi setahap lalu menjadi manusia sempurna, padahal apa yang terjadi pada setiap tahap perkembangan manusia sebelumnya tidak ada.14 Keajaiban itu tidak terbatas hanya pada aspek fisik, tetapi juga yang ada pada sisi dalam manusia seperti unsur roh, dan sebagainya.
C. Unsur Roh
Unsur roh pada manusia merupakan substansi yang menyebabkan adanya kehidupan, kesadaran, dan pertanggung-jawaban. Dengan jasad saja manusia tidak berarti apa-apa, diperlukan unsur roh sebagai substansi kedua sesudah ekstrak debu tanah (saripati tanah) untuk memberi makna hidup dan kehidupan. Sesudah manusia awal dibentuk dari tanah dalam berbagai fase lalu ditiupkan roh padanya untuk memulai kehidupan dan aktivitasnya, sebagaimana dipahami dari firman Allah subhānahū wa ta’ālā berikut ini:

38_71-72

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.” (shād/38: 71-72)
Kata “rūh‟ – yang diserap oleh Bahasa Indonesia menjadi roh – dijumpai dalam Al-Qur′an tidak kurang dari 19 tempat, dengan berbagai makna, antara lain sebagai berikut:
1. Roh dimaknai sebagai wahyu Al-Quran
Roh diartikan sebagai wahyu (Al-Quran) terdapat pada dua ayat masing-masing Surah an-Nahl/16: 2 dan asy-Syūrā/42: 52. Ayat terakhir disebut berbunyi:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Quran) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur'an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syūrā/42: 52)
2. Roh dimaknai sebagai malaikat (Jibril)
Beberapa ayat yang menjelaskan tentang roh sebagai malaikat, khususnya Jibril, ar-rūh atau rūhul-amīn, rūhul-quds,15 antara lain terdapat pada Surah an-Nahl/16: 102, Maryam/19: 17, asy-Syu’arā′/26: 193, Ghāfir/ 40: 15, al-Ma’ārij/70: 4, an-Naba′/78: 38, al-Qadr/97: 4. Salah satu di antara ayat itu adalah:
Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. (al-Ma’ārij/70: 4)
3. Roh dimaknai sebagai sesuatu yang ditiupkan ke dalam diri Maryam
Roh atau rūhul-qudus digunakan Al-Quran untuk menyebut sesuatu (kekuatan) yang dimasukkan ke dalam diri Maryam (Isa) sehingga memiliki kemampuan-kemampuan tertentu. Ayat-ayat yang menjelaskan hal ini dapat dibaca dalam Surah al-Baqarah/2: 87, 253, an-Nisā′/4: 171, al-Māidah/5: 110, al-Anbiyā′/21: 91, at-Tahrīm/66: 12. Mari kita cermati salah satu dari ayat-ayat itu, Surah al-Mā′idah/5: 110, sebagai berikut:
Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan Rohulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia pada waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu, (juga) Hikmah, Taurat dan Injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung dengan seizin-Ku, kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala waktu engkau mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (al-Māi′dah/5: 110)
4. Roh dimaknai sebagai pertolongan
Ada satu kata roh dalam Al-Qur′an yang diartikan sebagai pertolongan (kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati, kemenangan terhadap musuh dan lain-lain), yaitu pada Surah al-Mujādalah/58: 22 sebagai berikut:
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung. (al-Mujādalah/58: 22)
5. Roh dimaknai sebagai roh manusia pada umumnya
Roh pada makna ini yang menjadi fokus pembicaraan, karena ia menjadi unsur penting dalam diri manusia. Dengan roh-lah manusia hidup dan menjadi eksis, dapat berinteraksi dengan wujud di luar dirinya. Ayat-ayat yang memaknai roh sebagai salah satu unsur dalam diri manusia terdapat pada Surah al-Hijr/15: 29, al-Isrā′/17: 85, Shād/38: 72, dan as-Sajdah/32: 9. Ayat terakhir disebut adalah sebagai berikut:
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. (as-Sajdah/32: 9)
Keberadaan roh pada diri manusia diyakini sebagai penyebab kehidupan, dan menjadi faktor kemuliaan pada manusia, sebagaimana Allah subhānahū wa ta’ālā selalu menisbatkan roh pada dirinya (rūhī, min rūhihī). Menurut al-Biqā′ī, penisbatan itu menjadi indikator tentang kemuliaan roh yang diinternalisasikan ke dalam diri manusia, karena roh menyebab-kan manusia hidup, memahami sesuatu, patuh dan tunduk kepada al-Khaliq.
16Apa sebenarnya hakikat roh itu? Para ahli tafsir pada umumnya membatasi diri untuk tidak berbicara terlalu jauh tentang roh kecuali sebatas apa yang diungkapkan jelas oleh Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh pembatasan Al-Quran sendiri yang dipahami dari Surah al-Isrā′/17: 85 sebagai berikut:
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakan-lah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (al-Isrā′/17: 85)
asy-Sya’rāwī, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan roh, dan cara yang paling aman adalah tidak berbicara terlalu dalam mengenai masalah itu, karena Allah telah membatasinya dengan firmannya dalam Surah al-Isrā′/17: 85 itu.17 Meskipun demi-kian, roh diyakini bersinergi dengan jasad membangun dan mengembangkan kehidupan untuk memperoleh kebahagiaan. Roh berada pada sisi dalam dan jasad berada pada sisi luarnya (nyata). Salah satu kelengkapan instrumennya adalah akal.
D. Unsur Akal
Kata “akal‟ yang digunakan sehari-hari diserap dari Bahasa Arab al-‘aql. Kata ini terambil dari ‘iqāl (al-ba„īr) atau tali cencangan unta, yang maksudnya adalah mencegah orang yang memiliki akal sehat agar tidak lepas atau keluar dari jalur yang benar.18 Pemaknaan terhadap kata ‘aql ini sangat beragam, tetapi al-Jurjānī menyatakan bahwa:
19
jurjani
Yang tepat adalah bahwa akal itu merupakan esensi tunggal yang dapat memahami hal-hal abstrak melalui perantara-perantara (mekanisme) tertentu dan mengetahui benda-benda kongkret melalui indra.


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akal berfungsi menangkap fenomena-fenomena yang bersifat abstrak dan kongkret untuk diolah menjadi suatu pengetahuan. “Tahu‟ artinya menyimpan fotokopi atau gejala-gejala suatu objek melalui sensasi (penginderaan) dan persepsi di dalam memori sebagai pengetahuan siap (pengetahuan yang sudah jadi). Akal kemudian memanfaatkan pengetahuan siap ini untuk digunakan di saat diperlukan, seperti berpikir untuk membuat keputusan (decision making), memecahkan masalah (problem solving), atau menghubung-hubungkan antara pengetahuan satu dengan lainnya menjadi sesuatu yang baru (creativity). Untuk menggambarkan pentingnya akal yang difungsikan (akal pikiran), tepat sekali ucapan filosof Rene Descartes yang sangat terkenal, “cogito ergo sum‟ (saya berpikir maka saya ada). Keberadaan manusia ditentukan oleh fungsionalisasi akal pikirannya. Orang yang tak berakal tidak memiliki implikasi hukum apa pun.
Di dalam Al-Quran kata ‘aql tidak ditemukan dalam bentuk kata benda, tapi dalam wujud kata kerja pada 49 tempat. Hal ini dapat dipahami bahwa akal itu harus fungsional, karena yang bermakna bagi kehidupan adalah aktivitasnya. Orang yang tidak memfungsikan akalnya dalam menalar berbagai peristiwa di sekelilingnya dicela oleh Al-Quran. Beberapa ayat dalam masalah ini dapat dibaca misalnya Surah al-Baqarah/2: 44, 171; al-Mā′idah/5: 58; al-An’ām/6: 32; Yūsuf/12: 109; al-Qashash/28: 60; al-‘Ankabūt/29: 63. Sebaliknya, Al-Quran sangat bersimpati dan apresiatif terhadap orang yang mau menggunakan akalnya memikirkan fenomena alam sebagai tanda (sign, āyāt) kebesaran Allah subhānahū wa ta’ālā. Surah al-Baqarah/2: 164 menjelaskan hal tersebut:
20
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti. (al-Baqarah/2: 164)
Dengan akal, manusia memiliki kemampuan mengenal, mengetahui, menganalisis, dan mengungkapkan kembali berbagai hal yang telah diketahuinya. Kemampuan Adam mengungkapkan al-asmā′ (nama-nama, atau nama benda-benda) yang telah ia ketahui melalui proses belajar merupakan kemampuan kognisi dan analisis yang tidak dimiliki bahkan oleh para malaikat (al-Baqarah/2: 31-33). Pada diri manusia terdapat bermilyar-milyar sel di dalam otaknya dan dapat menyimpan aneka informasi yang diperoleh melalui peng-amatan, penginderaan, dan interaksi dengan lingkungan, kemudian disimpan di dalam gudang memori.
Proses informasi hingga sampai ke memori dapat digambarkan sebagai berikut: Jika input-input yang ditangkap oleh indra mendapat perhatian maka akan dikirim ke short-term memory (memori jangka pendek). Di sini tidak lama karena kapasitasnya terbatas, sebagian akan hilang di jalan dan sebagian lagi masuk ke working memory (memori terpakai). Jika dicamkan dengan baik, diulang-ulang, atau diupayakan untuk diingat maka input-input tadi akan disimpan di dalam gudang memori yang disebut long-term memory (memori jangka panjang). Pada saat diperlukan dapat dipanggil kembali (recall) arsip di dalam gudang memori itu. Adakalanya dapat langsung diingat saat itu juga dan adakalanya terlupakan (tidak berhasil ditemukan tempat penyimpanannya) lalu dibahasakan dengan kata “lupa‟.
Perjalanan informasi atau input-input yang diterima oleh indra untuk disimpan di dalam gudang memori dapat saja hilang di tengah perjalanannya menuju ke tempat penyim-panannya. Biasanya input yang hilang semacam itu terjadi jika tidak mendapatkan perhatian memadai atau intensitas kejadiannya sangat rendah (tidak berkesan, tidak khusū‘, tanpa penghayatan). Kejadian-kejadian seperti ini lazim dalam kehidupan manusia, tidak semua yang kita tangkap melalui indra akan diingat keseluruhannya. Pengecualian bagi Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk hafalan Al-Qur′an . Sekali dibacakan oleh Jibril langsung dihafal dan tidak akan pernah lupa kemudian. Allah menjamin di dalam Surah al-A’lā/87: 6
Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa. (al-A’lā/87: 6)
Pada manusia biasa umumnya (selain Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam hal hafalan wahyu) gejala lupa merupakan peristiwa normal, kecuali pada kasus-kasus amnesia berat. Tetapi Allah subhānahū wa ta’ālā telah memberi terapi kepada orang yang suka lupa sebagaimana dijelaskan di dalam Surah al-Kahf/18: 24:
18_24
Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” (al-Kahf/18: 24)
Selain kata ‘aql, yang merujuk pada makna akal atau fungsionalisasi akal dijumpai pula beberapa term yang semakna dengan itu, antara lain:
1. Nazhara yang berarti berfikir, merenung, menganalisis (diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi menalar), misalnya dalam Surah Qāf/50: 6-7; Ath-Thāriq/86: 5; al-Ghāsyiyah/88: 17;
2. Faqiha dan fahima (memahami, mengerti) misalnya Surah al-An„ām/6: 65, 98; al-Isrā′/17: 44; Thāhā/20: 28; al-Anbiyā′/21: 79;
3. Tadabbara, tafakkara, dan tadzakkara (merenung, berfikir, mengingat atau mempelajari sesuatu objek) misalnya Surah Shād/38: 29; Muhammad/47: 24; an-Nahl/16: 17, 69; al-An„ām/6: 80, 152; Yūnus/10: 3;
4. Ulul-albāb (yang memiliki akal), ulul-‘ilm (yang memiliki ilmu), ulul-abshār (yang mempunyai pandangan), ulun-nuhā (yang memiliki pemahaman, kearifan) misalnya Surah al-Baqarah/2: 179, 197, 269; Āli ‘Imrān/3: 7, 18, 190; Yūsuf/12: 111; az-Zumar/39: 21; an-Nūr/24: 44; Thahā/20: 54, 128
Dari sejumlah ayat yang berbicara tentang fungsi akal pada manusia, tampaknya akal bukan hanya sekedar memproses informasi menjadi pengetahuan yang tersimpan di dalam memori, tetapi juga berfungsi memberi dorongan moral dan spiritual kepada pemiliknya untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Menurut Quraish Shihab, akal mem-punyai tiga daya sebagaimana dapat dipahami dari penuturan ayat-ayat Al-Qur′an: Pertama, daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu; kedua, dorongan moral (daya untuk mengikuti nilai-nilai moral); dan ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “hikmah.‟ 21Oleh sebab itu, orang yang terperosok ke dalam neraka antara lain adalah karena tidak memfungsikan akalnya ketika ia hidup di dunia.22 Demikian juga harapan Al-Qur′an untuk senantiasa menggunakan akal agar terhindar dari berbagai perbuatan dosa. Perhatikan firman Allah subhānahū wa ta’ālā dalam Surah al-An’ām/6: 151 berikut ini:
Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. (al-An’ām/6: 151)
Fungsionalisasi akal dalam perjalanan hidup manusia seringkali terkendala atau mendapat perlawanan dari institusi lain dalam diri manusia sendiri, yaitu kecenderungan nafsu yang ingin menguasai dan memalingkan ke selera-selera rendah dan bertentangan dengan spiritualitas. Dengan demikian akan terjadi dinamika dalam kehidupan ketika terjadi pertarungan antara akal dan nafsu. Seperti apakah nafsu itu? Ikuti pembahasan berikut ini.
E. Unsur NafsuNafsu merupakan instrumen yang memberi dorongan (drive) bertingkah laku memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia agar mampu tetap bertahan hidup dan bereproduksi melanjutkan generasi umat manusia. Pada umumnya nafsu dihubungkan dengan kebutuhan biologis, materialisme, atau yang bersifat keduniawian (profan). Nafsu meskipun diserap dari Bahasa Arab, nafs, tidak serta merta identik dengan makna kata itu. Karena, nafs (n-f-s) dan derivatnya dalam Al-Qur′an – yang berjumlah sekitar 300-an ayat – mempunyai beberapa makna, antara lain:
1. Nafs yang dimaknai sebagai spesies manusia (totalitas diri pribadinya). Dari sejumlah ayat tentang nafs, makna ini yang paling umum diungkapkan. Salah satu di antaranya adalah Surah al-An’ām/6: 98:
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), maka (bagimu) ada tempat menetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (al-An„ām/6: 98)
2. Nafs yang dimaknai sebagai hati (kalbu), terdapat misalnya dalam Surah al-Isrā′/17: 25 sebagai berikut:

Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang yang baik, maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertobat. (al-Isrā′/17: 25)
3. Nafs yang dimaknai sebagai jiwa (roh) atau yang bernyawa, misalnya dalam Surah Āli ‘Imrān/3: 145 sebagai berikut:

Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Āli ‘Imrān/3: 145)
4. Nafs yang dimaknai sebagai Zat Allah Yang Mahasuci, misalnya dalam Surah al-An’ām/6: 12 sebagai berikut:

 
Katakanlah (Muhammad), “Milik siapakah apa yang di langit dan di bumi?” Katakanlah, “Milik Allah.” Dia telah menetapkan (sifat) kasih sayang pada diri-Nya. Dia sungguh akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan lagi. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman. (al-An’ām/6: 12)
5. Nafs yang dimaknai sebagai kecenderungan (nafsu), antara lain terdapat pada Surah Yūsuf/12: 53:
Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Yūsuf/12: 53)
Makna yang terakhir ini yang menjadi inti pembahasan, dikenal dalam bahasa sehari-hari dengan nafsu (kecenderungan, keinginan, predisposisi, atau dorongan). Dorongan (drive) ini diperlukan dalam kehidupan seperti nafsu makan untuk tetap hidup, nafsu seksual untuk bereproduksi, dan nafsu atau keinginan-keinginan lain yang menyebabkan adanya dorongan sikap dan tingkah laku. Dorongan ini memiliki dua kemung-kinan, positif atau negatif. Adakalanya pada awalnya baik tetapi disalahgunakan atau tidak sesuai dengan martabat kemanusiaan akhirnya menjadi negatif. Nafsu atau dorongan seksual adalah positif untuk melanjutkan generasi umat manusia, tetapi apabila nafsu itu diumbar atau dilakukan dengan menyelisihi aturan syari‘at maka ia menjadi negatif. Allah subhānahū wa ta’ālā memberi pilihan kepada manusia, memilih yang positif atau negatif. Dalam Surah al-Balad/90: 10:
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). (al-Balad/90: 10)
Dalam Surah asy-Syams/91: 7-10 telah dijelaskan pula tentang potensi kebaikan dan keburukan yang telah ditanamkan (innate) Allah subhānahū wa ta’ālā di dalam diri manusia, tinggal memilih mana yang diaktualisasikan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari dengan kesadaran akan konsekuensinya.
91_7-10
Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (asy-Syams/91: 7-10)
Keberpihakan Allah subhānahū wa ta’ālā pada kebaikan sangat jelas dengan memberi motivasi kepada manusia untuk mengaktualisasikan kebaikan itu, karena sungguh merugi orang yang mengambil jalan berlawanan (keburukan). Letak spiritualitas manusia adalah ketika mereka mampu secara terus menerus mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka inilah yang beruntung sebagaimana dimaksud oleh rangkaian ayat di atas. Sementara itu, nafsu yang cenderung pada keburukan diidentifikasi oleh Al-Qur′an dengan istilah “al-hawā‟ (hawa nafsu) dan “asy-syahwah‟ (syahwat, nafsu hedonistik).




























Kata al-hawā digunakan Al-Qur′an untuk menunjuk keinginan-keinginan rendah secara umum yang menyimpang dan tidak pantas bagi martabat kemanusiaan, sedangkan apabila menunjuk secara spesifik pada kenikmatan “duniawi‟ (hedonisme) maka Al-Qur′an menggunakan asy-syahwah. Karena itu, tidak digunakan kata al-hawā untuk makanan, tetapi asy-syahwah, sebab makanan terkait erat dengan kenikmatan.23 Kecenderungan senang kepada lawan jenis (heteroseksual), sesama jenis (homoseksual dan lesbian), menumpuk-numpuk kekayaan, dan segala sesuatu yang memberi kelezatan atau kenikmatan hidup digolongkan dalam kategori ini.
Beberapa ayat secara eksplisit menyebut kata al-hawā dengan konteks larangan kepada manusia untuk mempertu-rutkan hawa nafsunya, terdapat misalnya pada Surah al-A’rāf/7: 176, al-Kahf/18: 28; Thāhā/20: 16, al-Furqān/25: 43, al-Qashash /28: 50, Shād/38: 26, al-Jātsiyah/45: 23, dan beberapa derivatnya. Salah satu dari ayat itu menyebutkan:
(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shād/38: 26)
Sedangkan kata asy-syahwah ditemukan dalam belasan ayat, salah satu diantaranya terdapat pada Surah Āli ‘Imrān/3: 14.24
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (Āli ‘Imrān/3: 14)


Nafsu, apakah al-hawā atau asy-syahwah, dapat menjerumuskan manusia kepada sikap dan tingkah laku materialisme, hedonisme, maksiat, dan menghambat tumbuh suburnya spiritualitas manusia. Akan tetapi, nafsu diperlukan sebagai tenaga pendorong (drive) untuk mempertahankan kehi-dupan dan regenerasi umat manusia. Apabila dorongan nafsu dibimbing oleh akal sehat, kalbu, dan didasarkan pada agama maka nafsu yang demikian memperoleh rahmat Allah subhānahū wa ta’ālā. (Cermati kembali Surah Yūsuf/12: 53). Nafsu lebih bersifat instrumen untuk pemenuhan kebutuhan fisik, sementara pemenuhan kebutuhan spiritual diperoleh melalui kalbu (qalb).
F. Unsur Kalbu
Kata qalb, yang diindonesiakan menjadi kalbu, terambil dari akar kata yang bermakna membalik, karena seringkali ia berbolak-balik, suatu saat senang dan di saat yang lain susah, suatu waktu setuju dan di waktu yang lain menolak. Dalam ungkapan Bahasa Arab, menurut al-Fayūmī, kata qalb sering digunakan untuk makna membalikkan sesuatu, misalnya 25
قَلَبْتُ الرِّدَاءاَيْ حَوَلْتُهُ وَجَعَلْتُ أَعْلاَهُ أَسْفَلَهُ
(Aku membalik selendang,
maknanya adalah aku menukar bagian atasnya menjadi bagian bawahnya).
Kata qalb dan derivatnya ditemukan di dalam Al-Qur′an tidak kurang dari 168 tempat. Pada umumnya muncul untuk mengidentifikasi berbagai jenis kalbu yang difungsikan dan yang tidak difungsikan secara baik oleh pemiliknya. Kalbu yang dipelihara dan difungsikan secara optimal sangat peka terhadap kebenaran dan kebaikan, sementara yang tidak dipelihara dapat mengeras bagai batu cadas dan tak memiliki kepekaan sama sekali dan akhirnya tertutup (tersegel) dari kebaikan dan kebenaran. Hal ini dijumpai misalnya pada Surah al-Baqarah/2: 7, 74; al-An’ām/6: 43; al-A„rāf/7: 100-101; at-Taubah/9: 87; Yūnus/10: 74; an-Nahl/16: 108; ar-Rūm/30: 59; Ghāfir/40: 35; al-Jātsiyah/45: 23; Muhammad/47: 16; al-Munāfiqūn/63: 3). Salah satu dari ayat tersebut menyebutkan:

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepenge-tahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (al-Jātsiyah/45: 23)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendeskripsikan kalbu, demikian juga dalam memetakan posisinya di dalam diri manusia. Sebagian mengatakan terdapat di dalam dada manusia sebagaimana dipahami dari Surah al-Hajj/22: 46, sebagian yang lain mengatakan bahwa kalbu identik dengan fu′ād dan ‘aql (akal) yang berpusat di kepala sebagaimana dapat dipahami dari Surah al-A’rāf/7: 179. al-Farrā′, sebagaimana dikutip ar-Rāzī, mengambil pendapat terakhir ini dengan mengatakan bahwa
tidak ada perbedaan antara ketiga istilah tersebut, dan kata kalbu dalam Surah Qāf/50: 37 bermakna akal. 26 Hal senada dikemukakan oleh Lisānud-Dīn bin al-Khathīb al-Andalūsī sebagaimana dikutip ‘Abdulkarīm Khathīb, bahwa yang dimaksud kalbu dalam Al-Qur′an dan as-Sunnah adalah yang dipakai manusia untuk memahami dan mengetahui hakikat sesuatu. Karena itu, kalbu merupakan sumber pengertian dan menjadi instrumen pengetahuan. Ibnu al-Khathīb menjelaskan:  27
ibnu khatib
Yang dimaksud dengan al-qalb dalam as-Sunnah dan Al-Qur′an adalah pengertian yang digunakan manusia memahami dan mengetahui hakikat sesuatu … Jika demikian maka makna al-qalb adalah sumber pemahaman dan instrumen pengetahuan pada manusia. Tak lain adalah akal itu sendiri.

Ayat Al-Qur′an yang dijadikan sebagai dasar pendapat ini antara lain Surah at-Taubah/9: 87 dan Surah al-Munāfiqūn/63: 3 yang menyebut kalbu berfungsi memahami berbagai obyek. Ketika kalbu tertutup maka fungsi pemahaman juga tidak berjalan. Surat at-Taubah/9: 87 sebagai berikut:

Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah tertutup, sehingga mereka tidak memahami (kebahagiaan beriman dan berjihad). (at-Taubah/9: 87)

Mayoritas ulama menganggap akal dan kalbu tidak identik, fungsi dan posisinya pun berbeda. Akal di kepala, sedangkan kalbu ada dalam jiwa yang direpresentasikan atau disimbolisasikan Al-Qur′an berada di dalam dada. Sekiranya
kalbu itu identik dengan akal maka pasti Rasulullah ketika berbicara tentang takwa yang berada dalam relung kalbu menunjuk kepalanya. Akan tetapi dalam beberapa riwayat beliau selalu memegang atau menunjuk dadanya sebagai (simbol) tempat kalbu berada.28M. Quraish Shihab berpendapat bahwa kalbu itu meru-pakan bagian dari nafs, semacam suatu kotak di dalam wadah nafs, sementara nafs itu sendiri adalah sisi dalam dari manusia.29 Dapat ditegaskan pula bahwa hal yang disepakati oleh para ulama adalah bahwa kalbu bukanlah liver (hati) karena organ tersebut dikenal dalam Bahasa Arab dengan “kabid‟. Kata al-qalb (jamaknya, al-qulūb) oleh sebagian ulama bahasa diartikan sebagai jantung sebagaimana dapat dipahami dari beberapa ayat seperti Surah al-Ahzāb/33: 10 dan Ghāfir/40: 18. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, istilah spiritual kadangkala digunakan untuk memberi penekanan pada fungsi kalbu. Tidak mengherankan apabila makna spiritual selalu muncul pada ayat-ayat yang berbicara tentang kalbu misalnya dalam dua ayat berikut ini: Pertama, Surah al-Hadīd/57:27:


Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam; Dan Kami berikan Injil kepadanya dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka kepada orang-orang yang beriman di
antara mereka Kami berikan pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik. (al-Hadīd/57: 27)
Ayat kedua, terdapat pada Surah al-Hujurāt/49: 7.

Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurha-kaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (al-Hujurāt/49: 7)
Dapat dipahami dari ayat-ayat tersebut di atas bahwa sikap santun, kasih sayang, cinta pada keimanan, perasaan indah dan bahagia adalah orang yang memiliki iman, tidak menyukai kekufuran dan kefasikan adalah terpatri di dalam kalbunya. Bukan sesuatu kebetulan jika iman sebagai salah satu bentuk spiritualitas manusia mengambil tempat bersemi di dalam kalbu. Di dalam Al-Qur′an telah dijelaskan bahwa tempat keluar masuknya iman itu adalah kalbu. Ketika orang-orang Badui (al-A’rāb) berbangga dan mengklaim diri mereka telah beriman, dengan tegas Allah subhānahū wa ta„ālā mene-gurnya, karena sejatinya iman itu belum bersemi di dalam kalbu mereka, baru sebatas pengakuan lisan (al-Hujurāt/49: 14). Demikian pula perilaku-perilaku spiritual semisal dzikrullāh (mengingat Allah) membuat kalbu (jiwa) tenteram. Allah berfirman dalam Surah ar-Ra’d/13:28.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (ar-Ra’d/13: 28)
Nilai-nilai spiritual tidak selamanya lancar masuk dan bersemi di dalam kalbu, karena ada kemungkinan manusia teralienasi dari kalbunya sendiri. Pintu masuk ke dalamnya tertutup rapat bahkan mungkin telah tersegel atau terkunci mati (al-Baqarah/2: 7; al-A’rāf/7: 100). Penyegelan itu bukan berarti Allah semena-mena melakukan kezaliman dengan tindakan penyegelan itu. Mahasuci Allah subhānahū wa ta‘ālā dari perbuatan demikian.30 Akan tetapi tindakan manusia itu sendiri yang menyebabkan kalbu mereka tertutup atau tersegel. Fazlur Rahmān membuat ulasan menarik tentang hal itu.
Ide-ide di balik ayat-ayat yang berkenaan dengan penutupan hati manusia oleh Allah tampak sebagai hukum psikologis bahwa jika seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau kejahatan maka kesempatannya untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin bertambah dan untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang; dengan terus menerus melakukan kebajikan atau kejahatan maka seorang manusia hampir tidak dapat melakukan perbuatan yang berlawanan, bahkan untuk sekadar memikirkannya, sedemikian rupa sehingga jika manusia melakukan kejahatan maka hati dan matanya akan „tertutup‟, tetapi jika manusia melakukan kebijakan maka ia akan mendapatkan kekokohan jiwa yang tidak dapat dipengaruhi oleh setan. 31
Perhatikan firman Allah subhānahū wa ta’ālā dalam Surah al-Lail/92: 5-10 yang menjadi landasan dari pendapat Fazlur Rahmān di atas:
92_5
Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan), dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (al-Lail/92: 5-10)
Jika seseorang memilih untuk senantiasa melakukan kebaikan maka Allah subhānahū wa ta„ālā akan memudahkan baginya jalan menuju kebaikan-kebaikan berikutnya. Sebalik-nya, jika jalan keburukan yang dipilih, maka ia akan mendapatkan pula kemudahan untuk terus dalam ke-burukan-keburukan sesudahnya. Begitu terjadi terus menerus dalam kehidupan sampai jalan radikal diambil, misalnya mekanisme taubat atau kembali ke jalan yang benar. Tidak sedikit manusia yang terus memperturutkan hawa nafsunya sehingga tersesat jauh di dalam belantara maksiat dan susah menemukan jalan pulang. Di sinilah pentingnya dakwah dan bimbingan terus dilakukan untuk membantu manusia terbebas dari berbagai belenggu (materialisme, hedonistik, dan kemaksiatan) yang dapat mengungkung kehidupan spiritualitas mereka.

G. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai instrumen: fisik, ruh, akal, nafsu, dan kalbu. Semua instrumen itu saling memengaruhi dalam setiap sikap dan tingkah laku individu sehari-hari. Orang yang mampu memenangkan kalbunya dari yang lain dengan selalu meminta fatwa padanya (dalam hadis: istafti qalbak) maka dialah yang mampu mewujudkan tingkat spiritualitas yang tinggi dalam hidupnya.
Wallāhu a’lam bish-shawāb.
Catatan:

  1. Surah at-Tīn/95: 4 dan al-Baqarah/2: 29.
  2. Surah al-Ahzāb/33: 72
  3. Surah al-A‘rāf/7: 179.
  4. Diartikan sebagai partikel-partikel debu sebagaimana dipahami dari Surah al-Baqarah/2: 264.
  5. Konfirmasi tentang makna ekstrak tanah liat dipahami dari Surah al-Mu′minūn/23: 12 dengan ungkapan „sulālah min thīn‟. Sedangkan ungkapan “thīn lāzib ‟ dalam Surah ash-shāffāt/37: 11 dipahami sebagai tanah yang telah mengandung unsur hidrogen sebagai salah satu unsur penting bagi makhluk hidup, bahwa segala sesuatu yang hidup diciptakan dari unsur air (lihat Surah al-Anbiyā′/21: 30).
  6. Lihat juga Surah shād/38: 71-72.
  7. Syihābuddīn Mahmūd al-Alūsī, Rūhul-Ma‘ānī fī Tafsīril-Qur′ānil- ‘Azhīm was-Sab‘ul-Matsānī, juz 9, h. 484. Teks al-Alūsī sebagai berikut: .
    (An-nafkh dalam bahasa sehari-hari adalah mengalirkan udara dari mulut atau lainnya untuk membuat rongga pada jisim yang dapat menahan dan mengisinya. Dan yang dimaksud dalam ayat itu adalah penggambaran adanya pancaran (emanasi) yang menyebabkan kehidupan menjadi aktual terhadap materi yang menerimanya, bukan dimaksudkan sebagai tiupan sungguhan).
  8. Maurice Bucaille, Asal-usul Manusia: Menurut Bibel, Al-Qur′an, Sains, (Bandung: Mizan, 1986), alih bahasa Rahmani Astuti, h. 304-305.
  9. Maurice Bucaille, Asal-usul Manusia., h. 306.
  10. Lihat Surah al-Hijr/15: 29; Shād/38: 72.
  11. Muhammad bin Mukrim al-Mishrī, Lisanul-‘Arab, (Beirut: Dārush shādir), juz 11, h. 401.
  12. Surah Ghāfir/40: 67; adz-dzaāriyāt/51: 29.
  13. ‘Alā′ ad-Dīn al-Khāzin, Lubābut-Ta′wīl fī Ma’ānīt-Tanzīl, juz 6, h. 230.
  14. Muhammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, at-Tahrīr wat-Tanwīr minat-Tafsīr, juz 14, h. 175.
  15. Istilah Rūhul-Quds diartikan malaikat sebagaimana dijelaskan pada Surah an-Nahl/16: 102, tetapi kadang-kadang juga dimaknai sebagai sesuatu (kekuatan) yang dimasukkan dalam diri Maryam/Isa seperti pada Surah al-Baqarah/2: 253 dan al-Mā′idah/5: 110.
  16. Ibrāhīm bin ‘Umar al-Biqā′ī, Nazhmud-Durar fī Tanāsubil-Āyāt was-Suwar, juz 4, h. 413
  17. Muhammad Mutawallī asy-Sya’rāwī, Tafsīr asy-Sya’rāwī, h. 1816.
  18. ‘Alī bin Muhammad aj-Jurjāni, at-Ta’rīfāt, juz 1, h. 49. Ia juga mengintroduksi berbagai jenis akal: al-‘aql al-hayūlānī (akal material), al-‘aql bil-malakah (akal potensial), al-‘aql bil-fi„li (akal aktual), dan al-‘aql al-mustafād (akal perolehan). Untuk pemahaman lebih luas tentang hal ini lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 11.
  19. aj-Jurjānī, at-Ta’rīfāt, juz 1, h. 49.
  20. Lihat juga Surah al-Jātsiyah/45: 5; al- An’ām/6: 151; ar-Ra‘d/13: 4; an-Nahl/16: 12, 64; ar-Rūm/30: 24, 28.
  21. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur′an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996), h. 294-295.
  22. Surah al-Mulk/67: 10.
  23. Abū Hilāl al-‘Askarī, al-Furūq al-Lughawiyah, juz 1, h. 562.
  24. Lihat Surah an-Nisā′/4: 27, al-A’rāf/7: 81, an-Nahl/16: 57, Maryam/19: 59, al-Anbiyā′/21: 102, an-Naml/27: 55, Saba′/34: 54, Fushshilāt/41: 31, az-Zukhruf/43: 71, ath-Thūr/52: 22, al-Wāqi’ah/56: 21, al-Mursalāt/77: 42.
  25. Ahmad bin Muhammad al-Fayūmī, al-Mishbāh al-Munīr, (Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyah), juz 2, h. 512.
  26. Zainuddīn Abū ‘Abdillāh ar-Rāzī, Mukhtārush-shihah, (Beirut: Maktabah Lubnān Nāsyirūn). Muhaqqiq, Mahmūd Khāthī, 1995, juz 1, h. 228.
  27. ‘Abdul-Karīm al-Khathīb, 1391 H, h. 172.
  28. Muslim, al-Jāmi‘ ash-Shahīh (Shahīh Muslim), juz 12, h. 426, hadis no. 4650.
  29. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, h. 290.
  30. Lihat Surah Fushshilāt/41: 46; Āli ‘Imrān/3: 182, al-Anfāl/ 8: 51, al-Hajj/22: 10; Qāf/50: 29.
  31. Fazlur Rahmān, Tema Pokok Al-Qur′an , (Bandung: Pustaka, 1983), h. 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar