TAKWA DAN PENDEKATAN DIRI KEPADA ALLAH

Takwa ialah menjaga hubungan diri dengan Allah subhānahū wa ta‘ālā dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Orang yang bertakwa niscaya beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, memperoleh petunjuk Allah dan keberhasilan dalam hidup. Orang yang bertakwa menegakkan salat, berpuasa, tabah dan sabar dalam penderitaan, menghalalkan yang halal dan mengha-ramkan yang haram, menjauhi riba dan bertawakal kepada Allah; mengeluarkan zakat dan membagi rezeki untuk kesejahteraan orang lain, mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat benar, melarang perbuatan mungkar dan berlaku adil. Takwa adalah himpunan kebajikan.
Takwa merupakan pokok ajaran Islam yang menjadi tolok ukur kemuliaan manusia di hadapan Allah. Orang yang paling mulia dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa.

 

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (al-Hujurāt/49: 13)

A. Pengertian Takwa
Dalam istilah Bahasa Indonesia, takwa berarti terpeliha-ranya sifat diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya; keinsyafan yang diikuti kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; kesalehan hidup.1 Pengertian tersebut sedikit banyak telah memberikan gambaran dan penjelasan mengapa Allah menjadikan takwa sebagai tolok ukur kemuliaan di hadapan-Nya. Jika demikian tingginya nilai takwa di hadirat Allah subhānahū wa ta‘ālā, maka bagaimanakah makna takwa menurut Al-Qur′an?
Menurut Luis Ma‘luf, takwa artinya takut kepada Allah dan melakukan ketaatan kepada-Nya.2
Menurut Ibnu Manzhūr, lafal taqwā berasal dari akar kata waqā – yaqī – wiqāyah – taqwā; taqiyy; waqāhullāh sama dengan shanahu, hafizhahu yang berarti menjaganya; ittaqā – yattaqī – ittiqā′; muttaqi, artinya hazharahu, berhati-hati, waspada. at-Tuqatu sama dengan at-taqiyyatu - at-taqwā, yakni al-ittiqā′ yang berarti takut, waspada, menjaga diri. at-Taqiyyu jamaknya al-atqiyā′u, yakni orang yang memelihara diri, menghindarkan diri dari siksa dan maksiat dengan melakukan amal saleh. Asalnya waqaitu nafsī yang artinya saya memelihara diri. Ittaqā – yattaqī berarti men-jadi orang bertakwa.3
‘Abdullāh ‘Abbās Nadwī dalam Vocabulary of the Holy Quran mengartikan ittaqā – yattaqī: to fear (takut, khawatir), to be pious (saleh), to ward off evil (menangkal, mencegah keburukan); to be consiciuos of God (menyadari keberadaan Tuhan), to keep duty towards God (memelihara kewajiban, melaksanakan perintah Tuhan). Tattaqūn: God fearing. Muttaqīn: those who fear Allah or those who are pious; the righteous (orang yang lurus, budiman).4
Kata takwa memiliki bermacam-macam arti menurut konteks ayatnya. (1) Watazawwadū fainna khairazzādit-taqwā (al-Baqarah/2: 197): menjauhkan diri, berpantang; (2) Wa an ta„fū aqrabu littaqwā (al-Baqarah/2: 237): kesalehan; (3) Wa atāhum taqwāhum (Muhammad/47: 17): menjaga diri dari perbuatan buruk; (4) Huwa ahlut-taqwā (al-Muddatsir/74: 56): sumber ketakutan.5
Dalam Mu’jam Alfāzhil-Qur′ānil-Karīm, Muhammad Husain Haikal dan kawan-kawan mengartikan takwa: ittiqā′u ‘adzābillāhi wa dzālika bimtitsāli awāmirihi wajtinābi nawāhihi – menjaga diri dari siksa Allah, hal itu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.6
al-Qūmī dalam Garā′ibul-Qur′ān wa Ragā′ibul-Furqān menulis, attaqiyyu: al-muttaqi; al-mu’tamiru lil-ma′murāt wal-mujtanibu ‘anil-mahzurāt. haqīqatut-taqwā: al-khasyyah.7 Menurut al-Qūmī, kata taqwā memiliki arti:

(1) takut: Yā ayyuhannāsut-taqū rabbakum (al-Hajj/22: 1);

(2) iman dan tauhid: Wa alzamahum kalimatat-taqwā (al-Fath/48: 26);

(3) bertobat: Walau anna ahlal-qurā āmanū wattaqau (al-A‘rāf/7: 96);

(4) taat: An anzhirū annahū lā ilāha illā ana fattaqūni (an-Nahl/16: 2);

(5) meninggalkan maksiat: Wa ātul-buyūta min abwābihā wattaqullāha (al-Baqarah/2: 189);

(6) ikhlas: Fa ′innahā min taqwāl-qulūb (al-Hajj/22: 32).8
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah Shallallāhu ‘alahi wa sallam bersabda:

Barang siapa yang ingin menjadi orang paling mulia, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah; barang siapa ingin menjadi orang paling kuat, maka hendaklah ia bertawakal kepada Allah; barang siapa ingin menjadi orang paling kaya, maka hendaklah ia lebih yakin terhadap apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada pada tangannya. (Riwayat Hākim dari Ibnu ‘Abbās)9
Diriwayatkan dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alahi wa sallam bersabda: 10
Hindarilah hal-hal yang haram, maka engkau menjadi orang yang paling menghamba kepada Allah, relalah terhadap apa yang dibagikan Allah, maka engkau menjadi orang paling kaya, berbuat baiklah kepada tetanggamu, maka engkau menjadi mukmin, dan cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri, maka engkau menjadi muslim, dan janganlah banyak tertawa, karena banyak tertawa mematikan hati. (Riwayat at-Tirmidzī dari Abū Hurairah)
Takwa ialah membersihkan hati dari kotoran dan membersihkan badan dari dosa, baik dosa tangan, kaki, kemaluan, mulut, mata, hidung, maupun telinga. Takwa ialah waspada dan berhati-hati dari penyimpangan apa pun. Orang yang tanpa dosa itulah orang yang benar-benar bertakwa.11 Allah subhānahū wa ta‘ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. (Āli ‘Imrān/3: 102)
Dalam Tafsir al-Muntakhab, ayat ini ditafsirkan dengan, Wahai orang yang beriman, takutilah Allah dengan mengerja-kan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Tetaplah dalam keislaman sampai kalian menghadap Allah kelak!12
Ada beberapa macam takut:

(1) takut yang hina ialah pengecut;

(2) takut seorang anak atau orang belum ber-pengalaman menghadapi suatu bahaya yang tidak diketahuinya;

(3) takut seseorang yang wajar karena ingin menjauhi sesuatu yang akan merugikan dirinya atau orang yang ingin dilindunginya;

(4) rasa hormat yang sama dengan rasa cinta, sebab rasa cinta itu takut berbuat sesuatu yang tidak akan menyenangkan pihak yang dicintainya. Yang pertama, ialah orang yang memang sudah tak berguna; yang kedua, memang wajar buat orang yang dalam kehidupan rohaninya belum matang; yang ketiga, yang secara manusiawi perlu berhati-hati terhadap segala kejahatan yang selama itu tak terkalahkan; dan yang keempat, ialah yang mendatangkan ketakwaan. Orang yang sudah matang imannya akan lebih menyuburkan yang keempat. Pada tahap-tahap permulaan, yang ketiga dan kedua mungkin diperlukan; mereka takut, tetapi bukan dalam arti takut kepada Allah; sedangkan yang pertama adalah suatu perasaan, setiap orang harus merasa malu.13


Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya penilaian mereka itu. (al-Jātsiyah/45: 21)
Dalam pandangan Allah orang yang melakukan kejahatan tidak sama dengan orang beriman, baik dalam hidup atau matinya. Orang beriman dibimbing oleh Allah dan menerima karunia-Nya, dan sesudah mati mendapat rahmat-Nya, sementara orang yang tidak beriman akan mengingkari karunia-Nya, dan sesudah mati ia akan menerima hukuman. Dalam hidup dan sesudahnya keduanya tak sama; kalau orang jahat di dunia beruntung, di akhirat akan mendapat kutukan; kalau orang yang baik di dunia menderita, di akhirat ia akan mendapat kesenangan dan hiburan. Hidup yang sebenarnya bagi orang beriman tidaklah seperti orang yang tidak beriman, yang hanya nama saja hidup, tetapi sebenarnya ia mati. Juga tidak seperti kematian mengerikan orang tidak beriman yang akan membawanya ke dalam penderitaan abadi. Kematian fisik orang beriman, akan membawanya kepada kehidupan abadi.14
Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Atau pantaskah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang jahat. (Shad/38: 28)
‘Alī berkata, “at-Taqwā tarkul-ishrār ‘alal-ma‘shiyah wa tarkul-ightirār bit-tā‘ah (takwa ialah meninggalkan dan menghentikan diri dari maksiat dan meninggalkan kelengahan dengan taat).”
Ibrāhīm bin Adham berkata, “at-Taqwā: allā yajidal-khalqu fi lisānika ‘aiban; walal-malāikatul-muqarrabūn fi af‘ālika ‘aiban; walā malākul-‘arsy fi sirrika ‘aiban (takwa ialah tatkala manusia tak menemukan cela dalam tutur katamu; tatkala para malaikat
tidak menemukan cela dalam tindakanmu; dan tatkala malaikat penjaga Arsy tidak menemukan cela dalam keadaan sepimu).”
al-Waqidī berkata, “at-Taqwā: an tuzayyina sirraka lilhaqqi kamā zayyanta zhāhiraka lilkhalqi (takwa ialah menghias batin di hadapan Khaliq sebagaimana menghias lahir di hadapan makhluk).”
Sahabat Abū Hurairah bertanya tentang takwa kepada Rasulullah, Rasul menjawab, “Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu?” Abū Hurairah menjawab, “Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur.” Rasulullah pun berkata, “Itulah takwa.” (Riwayat Abud-Dunyā dari Abū Hurairah).
Rasulullah bersabda, 15
Seseorang tidak mencapai derajat takwa hingga ia meninggalkan apa yang diperbolehkan karena berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam hal yang tidak diperbolehkan. (Riwayat Ibnu Mājah dari ‘Athiyyah as-Sa‘dī)
Dalam hadis Nabi yang lain dijelaskan, 16
Seseorang berkata kepada Rasulullah, ‘‘Siapakah orang yang paling utama?” Rasul menjawab, ‘‘Orang yang bersih hatinya dan jujur lisannya”. Sahabat berkata, “Kami tahu lisan yang jujur, maka apakah
yang dimaksud dengan hati yang bersih? Nabi menjawab, “Yaitu orang yang bertakwa, suci dari dosa; tidak melampaui batas dan tidak dengki.” (Riwayat Ibnu Mājah dari ‘Abdullāh bin ‘Amrū)
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, 17
Aku mengetahui sebuah kata. ‘Utsmān pun berkata, “Sebuah ayat yang bila semua manusia memilikinya maka cukuplah.” mereka bertanya, “Ayat apa ya Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah memberikan jalan keluar (Surah ath-Thalāq/65: 2). (Riwayat Ibnu Mājah dari Abū dzar)
Az-Zamakhsyarī berpendapat dalam al-Kasysyāf, bahwa takwa ialah menunaikan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan. “Bertakwalah kepada Allah sejauh kalian mampu.” (64: 16) berarti “Bertakwalah sedemi-kian rupa, sehingga kamu tidak meninggalkan satu hal pun yang sebenarnya kamu mampu.”18
Menurut Muhammad Rasyīd Ridhā dalam al-Manār, taqwā ialah meninggalkan apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintahkan menurut kadar kemampuan.19 Dalam al-Wahy al-Muhammadī, Muhammad Rasyīd Ridhā menulis, arti takwa secara umum ialah menghindari segala yang membahayakan diri manusia dan keberadaan manusia dalam jangka pendek dan jangka panjang; menghindari penghalang antara manusia dan maksud-maksud yang mulia, tujuan-tujuan yang baik serta kesempurnaan yang dapat dicapai. Takwa adalah meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan serta melakukan ketaatan sepenuh kemampuan. Takwa ialah menghindarkan sebab-sebab duniawi yang merintangi kesempurnaan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat menurut sunnatullah yang berlaku di dunia, seperti kemenangan atas musuh, menjadikan kalimat Allah menjulang tinggi di muka bumi dan kalimat orang kafir terpuruk. Hal ini bergantung kepada pengetahuan yang luas tentang al-Kitab dan Sunnah. Buah takwa yang sempurna ialah tercapainya kemampuan untuk membedakan atau memisahkan secara tegas antara apa yang harus diterima dan apa yang harus ditolak; antara apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Kepada setiap muttaqi terhadap sesuatu, Allah memberinya kemampuan untuk membedakan (furqān). Takwa membersihkan jiwa dan memberikan kemam-puan untuk melakukan perbaikan di bumi.20
Ahmad Mushthafā al-Marāghī menulis, bahwa takwa berarti menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, menjadi batas yang menjauhkan manusia dari siksa-Nya. Orang bertakwa ialah orang yang bersih jiwanya sehingga ia dapat mencapai petunjuk Allah, siap sedia mengikuti kebenaran dan beramal demi keridaan Allah sesuai dengan tingkat kesanggupan dan kemampuan berpikirnya.21
Menurut Mahmud Syaltūt dalam Tafsīr Al-Qur′ān Al-Karīm, orang yang bertakwa ialah orang yang memelihara fitrahnya yang Allah telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Ia memeliharanya dari segala yang dapat merusaknya, bahkan mereka mendindinginya dengan pancaran kebenaran.22
Menurut Abdullah Yusuf Ali, takwa serta kata-kata kerja dan kata-kata benda yang dikaitkan dengan akar kata itu berarti:

(1) takut kepada Allah, yang menurut Surat Amsal (1:7) dalam Perjanjian Lama merupakan permulaan kearifan;

(2) menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan;

(3) ketakwaan, ketaatan dan kelakuan yang baik.23 Bertakwa atau takut kepada Allah ialah takut melanggar ketentuan-Nya. Takut demikian sama dengan cinta, sebab dengan itu timbul pula kesadaran tentang kecintaan Allah kepada semua makhluk-Nya.24

Menurut Maulānā Muhammad Ali, takwa ialah meme-nuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. Muttaqī berasal dari kata kerja ittaqā yang artinya melindungi atau menjaga diri dengan sungguh-sungguh dari dosa, atau dari sesuatu yang merugikannya di akhirat. Muttaqī ialah orang yang menjaga diri dari kejahatan; orang yang berhati-hati; orang yang menghormati atau menetapi kewajiban.25
Orang yang takwa menurut Mirza Nāshir Ahmad adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang merusak diri sendiri dan orang lain.26
Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan, bukan saja karena takut, tetapi lebih lagi karena ada kesadaran diri sebagai hamba; memelihara diri jangan sampai terperosok pada suatu perbuatan yang tidak diridai Tuhan. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan dan memelihara kaki jangan terperosok ke tempat berlumpur atau berduri. Kebudayaan Islam ialah kebudayaan takwa. Takut hanyalah sebagian kecil dari takwa. Dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, rida, sabar dan berani. Takwa adalah pelaksanaan iman dan amal saleh.27
Menurut M. Quraish Shihab, takwa ialah menghindar. Orang bertakwa adalah orang yang menghindar. Dalam konteks Surah al-Baqarah ayat dua, takwa mencakup tiga tingkat penghindaran. Pertama, menghindar dari kekufuran dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berusaha melaksanakan perintah Allah sepenuh kemampuan dan kekuatan dan menghindari larangan-Nya. Ketiga, menghindar dari segala aktivitas yang menjauhkan pikiran dari Allah. Takwa bukan satu tingkat dari ketaatan kepada Allah, melainkan penamaan bagi setiap aktivitas orang yang beriman dan mengamalkan amal saleh. Seorang yang mencapai puncak ketaatan adalah orang yang bertakwa, tetapi orang yang belum
mencapai puncaknya pun juga dapat dinamakan orang ber-takwa.28
Allah subhānahū wa ta‘ālā berfiman tentang takwa sebagai berikut.
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan memperkuat ketakwaan mereka. (Muhammad/47: 17)
Lafal atāhum taqwāhum dalam ayat tersebut artinya balasan ketakwaan mereka; Allah menganugerahkan ketakwaan mereka.
Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya (Al-Qur′an), kecuali (jika) Allah menghendaki. Dialah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun. (al-Muddatsir /74: 56)
Huwa ahlut-taqwā artinya Dialah Allah yang layak ditakuti, diwaspadai, dihindari siksanya dan yang berhak diperlakukan dengan sesuatu yang menyebabkan seseorang memperoleh ampunan-Nya.
Wahai Nabi! Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (al-Ahzāb/33: 1)

Diriwayatkan oleh Juwaibir dari adh-Dhahhāk yang bersumber dari Ibnu „Abbās, bahwa orang-orang Mekah, di antaranya al-Wālid bin al-Mugīrah dan Syaibah bin Rabī‘ah mengajak Nabi Muhammad untuk meninggalkan dakwahnya dengan perjanjian setengah harta benda mereka akan diberikan. Sementara itu, kaum munafik dan Yahudi Madinah menakut-nakuti Rasulullah dengan ancaman akan membunuhnya jika tidak meninggalkan dakwahnya. Maka turunlah ayat itu.29
Ittaqillāha dalam ayat tersebut berarti tetaplah bertakwa kepada Allah dan senantiasalah dalam takwa kepada-Nya. at-Taqiyyu sama dengan al-muttaqi, orang yang bertakwa.
Dia berkata, “Aku berlindung kepada Yang Maha Pemurah dari kau: jangan dekati aku jika kau orang yang takut kepada Allah.” (Maryam/19:18)
Anak kalimat: “jangan dekati aku jika kau orang yang takut kepada Allah” mengandung arti: aku berlindung kepada Allah; jika engkau orang yang bertakwa, tentu engkau akan insaf dengan perlindunganku kepada Allah darimu.30
Menurut al-Ashfahanī, kata taqwā terbentuk dari akar kata waqā – yaqī – wiqāyah yang artinya menjaga sesuatu dari apa yang menyakiti, melukai, mencederai dan membahayakannya. Taqwā berarti menjadikan diri terpelihara dari apa yang ditakuti; takut kadang disebut takwa; menjaga diri dari dosa; hal itu dilakukan dengan meninggalkan larangan. Itu menjadi sem-purna dengan meninggalkan beberapa perkara yang dibolehkan: Yang halal jelas, yang haram juga jelas; barang siapa singgah, tinggal, berdiam di sekitar batas, besar kemungkinan ia melintasinya.31

Wahai anak cucu Adam! Jika datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barang siapa bertakwa dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (al-A‘rāf/7: 35)
Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (an-Nahl/16: 128)
Diriwayatkan oleh al-Hākim, al-Baihaqī dan al-Bazzār yang bersumber dari Abū Hurairah bahwa ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan mayat Hamzah yang syahid dan anggota badannya dirusak, beliau bersabda, “Aku akan membunuh 70 orang dari mereka sebagai balasan atas perlakuan mereka terhadap dirimu.” Maka turunlah Jibril menyampaikan wahyu akhir Surah an-Nahl, yakni ayat 126-128.32
Firman-firman Allah berikut menjelaskan tentang dinamika dan peringkat taqwā.
Dan takutlah kamu ketika suatu hari kamu akan dikembalikan kepada Allah kemudian kepada masing-masing pribadi dibayarkan apa yang mereka kerjakan dan mereka tidak akan dianiaya. (al-Baqarah/2: 281)

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (an-Nisā′/4: 1)
Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (an-Nūr/24: 52)
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. (Āli ‘Imrān/3: 102)
Diriwayatkan oleh al-Faryabī dan Ibnu Abī Hātim dari Ibnu ‘Abbās, bahwa ketika kaum Aus dan Khazraj duduk-duduk, berceritalah mereka tentang permusuhannya di zaman Jahiliyah, sehingga bangkitlah amarah kedua kaum tersebut. Masing-masing bangkit memegang senjatanya, saling berhadapan. Maka turunlah Surah Āli ‘Imrān/3: 101-103.

Maka apakah orang-orang yang melindungi wajahnya menghindari azab yang buruk pada hari Kiamat (sama dengan orang mukmin yang tidak kena azab)? Dan dikatakan kepada orang-orang yang zalim, “Rasakanlah olehmu balasan apa yang telah kamu kerjakan.” (az-Zumar/39: 24)
Ayat itu mengandung peringatan tentang pedihnya apa yang mereka terima. Apa yang paling patut mereka pelihara dari siksa pada hari kiamat adalah wajah mereka.33
Kata lain yang berdekatan artinya dengan lafal taqwā ialah khauf dan khasyyah. Khauf dari akar kata khāfa – yakhāfu – khauf artinya takut, gentar, khawatir, cemas dan waspada; lawan kata āmina yang berarti aman, tenang.34 Khasyyah dari akar kata khasyiya – yakhsyā – khasyyah artinya takut dan mewaspadainya.35 Dalam al-Mu‘jam al-Wasīth, Ibrāhīm Unais dan kawan-kawan menulis, at-taqwā: al-khasyyah wal-khauf.36
Lafal takwa dalam Al-Qur′an memiliki beberapa objek, yakni Tuhan Allah, api neraka, cobaan dunia dan kiamat. Hal itu tertera dalam ayat-ayat berikut.
Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qishash. Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 194)

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dari Qatādah, bahwa pada bulan Zulkaidah Nabi Muhammad dengan para sahabat beliau berangkat ke Mekah untuk menunaikan umrah dengan membawa kurban. Setibanya di Hudaibiyyah, mereka dicegat oleh kaum musyrikin. Kemudian dibuatlah perjanjian yang isinya antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrah pada tahun berikutnya. Maka pada tahun berikutnya berangkatlah Nabi beserta para sahabat ke Mekah dan tinggal di sana selama tiga malam. Kaum musyrikin bangga dapat menggagalkan maksud Nabi untuk umrah pada tahun yang lalu. Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa tersebut.37
Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (al-Baqarah/2: 24)
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya. (al-Anfāl/8: 25)

Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak seorang pun dapat membela orang lain sedikit pun. Sedangkan syafaat dan tebusan apa pun darinya tidak diterima dan mereka tidak akan ditolong. (al-Baqarah/2: 48)
Dan takutlah kamu ketika suatu hari kamu akan dikembalikan kepada Allah kemudian kepada masing-masing pribadi dibayarkan apa yang mereka kerjakan dan mereka tidak akan dianiaya. (al-Baqarah/2: 281)
Adapun objek khauf dalam Al-Qur′an adalah Tuhan Allah, setan, manusia dan ancaman siksa.
Dan (ingatlah) ketika setan menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan (dosa) mereka dan mengatakan, “Tidak ada (orang) yang dapat mengalahkan kamu pada hari ini, dan sungguh, aku adalah penolongmu.” Maka ketika kedua pasukan itu telah saling melihat (berhadapan), setan balik ke belakang seraya berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu; aku dapat melihat apa yang kamu tidak dapat melihat; sesungguhnya aku takut kepada Allah.” Allah sangat keras siksa-Nya. (al-Anfāl/8: 48)

Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (Āli ‘Imrān/3: 175)
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah kitab selain Al-Qur'an ini atau gantilah.” Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.” (Yūnus/10: 15)
Objek khasyyah dalam Al-Qur′an meliputi Tuhan Allah, manusia dan kiamat.
Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (ar-Ra‘d/13: 21)

Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (an-Nūr/24: 52)
Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi. (al-Ahzāb/33: 37)
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu
teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (Luqmān/31: 33)

B. Langkah-langkah Menuju Takwa
Jalan menuju takwa ialah mentaati Allah subhānahū wa ta‘ālā dan Rasul-Nya, dengan menunaikan perintah-perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amalan-amalan yang mengantar-kan pada ketakwaan terdiri dari amalan lahir dan amalan batin sebagai berikut.


1. Beriman
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 177)

Sering dan banyak sekali manusia berbicara tentang kiblat, seolah-olah kiblat itu sebagai satu-satunya kebaikan, padahal tidak demikian. Sekadar menghadapkan muka ke barat atau ke timur bukan merupakan pokok persoalan keagamaan atau kebajikan. Sumber kebajikan itu bermacam-macam, sebagian merupakan pokok-pokok kepercayaan (akidah), dan sebagian lagi induk Ibadah. Kategori pertama, beriman pada Allah, pada hari kebangkitan hari pengumpulan seluruh makhluk dan hari pembalasan. Beriman pada malaikat dan pada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi dan beriman pada para nabi itu sendiri. Kedua, menafkahkan harta secara sukarela untuk kerabat terdekat, anak-anak yatim dan bagi siapa saja yang sangat membutuhkan. Ketiga, menjaga dan memelihara salat. Keempat, menunaikan kewajiban zakat. Kelima, menepati janji menyangkut jiwa dan harta. Keenam, bersabar atas segala cobaan yang menimpa diri dan harta. Orang-orang yang menyatukan dalam diri mereka pokok-pokok kepercayaan dan kebajikan, mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka itulah yang membentengi diri dari kufur dan moral yang rendah.38

2. Menegakkan salat dan menunaikan zakat
Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa (Thāhā/20: 132)
Perintahkanlah keluargamu agar selalu mengerjakan salat pada waktunya, sebab salat merupakan tali penghubung paling kuat antara mereka dengan Allah. Kerjakanlah selalu salat itu
dengan sempurna. Kami tidak membebanimu untuk menang-gung rezeki bagi dirimu. Kamilah yang menjamin rezekimu. Sesungguhnya akibat yang baik, di dunia dan akhirat, diberikan kepada orang-orang yang baik dan bertakwa.39
Alif Lām Mīm. Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hikmah, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat, menunaikan zakat dan mereka meyakini adanya akhirat. (Luqmān/31: 1-4)
Ayat-ayat yang agung ini adalah ayat-ayat Al-Qur′an yang mengandung hikmah dan kebenaran. Ayat-ayat ini adalah petunjuk dan rahmat yang sempurna bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan salat dengan sempurna dan memberikan zakat kepada orang yang berhak serta benar-benar mengimani adanya kehidupan akhirat.40

3. Berpuasa
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah/2: 183)
Allah mewajibkan orang beriman berpuasa sebagai upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan sebagai perwujudan kehendak-Nya melebihkan derajat manusia dari binatang yang tunduk hanya pada instink dan hawa nafsu.
Berpuasa merupakan syariat yang juga telah ditetapkan atas umat terdahulu, maka tidak selayaknya seorang mukmin merasa berat untuk melakukannya. Dengan puasa itu Allah bermaksud menanamkan jiwa ketakwaan, menguatkan daya indrawi dan mendidik jiwa.
Di samping hikmah spiritual-edukatif, ilmu kedokteran modern banyak menyinggung manfaat medis puasa, antara lain, bahwa puasa bisa menjadi terapi berbagai macam jenis penyakit, seperti darah tinggi, penyempitan pembuluh nadi, penyakit lemah jantung dan diabetes. Puasa mampu mem-perbaiki sistem pencernaan, mencegah infeksi persendian dan memberi kesempatan pada jaringan tubuh untuk istirahat, melenyapkan sisa-sisa organik yang berbahaya bagi tubuh dan memberikan perlindungan pada tubuh dari berbagai jenis penyakit lain.41

4. Tabah dan sabar dalam penderitaan
Allah berfirman:
Katakanlah, “Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Bagi orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta rida Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.(Yaitu) orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, kami benar-
benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari azab neraka.”(Juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar. (Āli ‘Imrān/3: 15-17)
Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (an-Nahl/16: 127-128)
Bersabarlah, karena kesabaran itu akan dapat membantu meringankan beban penderitaan dan memecahkan persoalan-persoalan hidup. Janganlah berduka-cita orang menerima seruan untuk beriman. Jangan pula dadamu merasa sesak oleh makar dan rencana jahat orang untuk merintangi dakwah, karena perbuatan mereka itu tidak akan pernah mencelakakan dirimu.42

5. Memohon ampun atas segala dosa

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan, dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. (Āli ‘Imrān/3: 133-135)
Bergegaslah untuk melaksanakan amal saleh, agar kalian mendapatkan ampunan yang besar dari Allah atas dosa-dosa kalian! Juga agar kalian mendaptkan surga yang amat luas, seluas langit dan bumi, yang hanya disediakan untuk orang-orang yang takut kepada Allah dan siksa-Nya. Mereka adalah orang-orang yang membelanjakan hartanya, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah. Kemudian, di samping itu, juga menahan marah, sehingga tidak sampai membalas, terutama kepada orang yang berbuat tidak baik kepada mereka, bahkan memaafkannya. Mereka itu termasuk orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah subhānahū wa ta‘ālā akan selalu memberi pahala dan perkenan-Nya kepada orang-orang seperti ini.43

6. Makan makanan halal
Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (al-Mā′idah/5: 88)

Makanlah apa saja yang halal dan baik menurut selera kalian, dari makanan yang diberikan dan dimudahkan Allah untuk kalian. Takutlah dan taatlah selalu kepada Allah selama kalian beriman kepada-Nya.44
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-Anfāl/8: 69)
Makanlah dari apa yang kalian dapatkan dari harta rampasan berupa bahan-bahan makanan. Itu semua halal hukumnya, bukan pekerjaan yang kotor. Bertakwalah kepada Allah dalam segala urusanmu, ampunan dan ramat Allah sungguh amat besar bagi hamba-hamba yang kembali memo-hon ampunan kepada-Nya, sebagaimana Dia kehendaki.45

7. Memohon pertolongan kepada Allah
Dan tetapkanlah untuk kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat. Sungguh, kami kembali (bertobat) kepada Engkau. (Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (al-A‘rāf/7: 156)

8. Memenuhi dan menepati janji

Sebenarnya barang siapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa. (Āli ‘Imrān/3: 76)

9. Benar dan jujur dalam kata dan perbuatan
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (at-Taubah/9: 119)

10. Mengerjakan amal kebaikan, mengajak kepada kebaikan dan menyeru berbuat benar
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Āli ‘Imrān/3: 104)

11. Berlaku adil

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (al-Mā′idah/5: 8)
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah dan melaksana-kan persaksian di antara manusia dengan benar. Janganlah kebencian kalian yang sangat kepada suatu kaum membawa kalian untuk bersikap tidak adil kepada mereka. Tetaplah berlaku adil, karena keadilan merupakan jalan terdekat menuju ketakwaan kepada Allah dan menjauhi kemurkaan-Nya. Takutlah kalian kepada Allah dalam segala urusan. Sesungguh-nya Allah Maha Mengetahui semua yang kalian perbuat dan Dia akan memberi balasan yang setimpal.

12. Memelihara hubungan baik antar sesama
Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan menciptakan kedamaian di antara manusia. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (al-Baqarah/2: 224)

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (an-Nisā′/4: 1)

13. Berjuang di jalan Allah
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (al-Mā′idah/5:35)
14. Menghindari keburukan (al-Mā′idah/5: 100)
15. Mengharamkan yang haram (al-Mā′idah/5: 96)
16. Menjauhi riba
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. (al-Baqarah/2: 278)


17. Menghentikan perbuatan dosa

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. (Āli ‘Imrān/3: 135)


18. Menutup aurat
Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat. (al-A‘rāf/7: 26)

19. Menghindari pikiran jahat dari setan
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya). (al-A‘rāf/7: 201)

C. Ciri Orang Bertakwa
1. Orang yang bertakwa memperoleh petunjuk Allah

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 2)

2. Orang yang bertakwa memperoleh keberhasilan hidup
Sungguh, orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. (an-Nabā′/78: 31)
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa kepada Allah akan mendapatkan keselamatan dari siksa neraka dan masuk ke dalam surga.
46

3. Orang yang bertakwa memiliki jalan keluar dari masalah
Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. (ath-Thalāq/65: 2)
Barang siapa bertakwa kepada Allah dengan melaksana-kan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, Allah akan memberi jalan keluar dari segala macam kesulitan dan menyediakan sebab-sebab memperoleh rezeki yang tidak diperkirakan sebelumnya serta mencukupi segala keperluannya. Barang siapa bertakwa kepada Allah lalu melaksanakan segala ketentuannya, maka Allah akan memudahkan segala urusannya.47

4. Orang yang bertakwa taat dan tekun beribadah kepada Allah

Orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar. (Āli ‘Imrān/3: 17)
Ibadah dalam arti penyembahan ialah suatu tindakan tertinggi serta sikap rendah hati yang luar biasa dalam ibadah. Keimanan akan menghasilkan segala amal saleh. Inilah kesempatan yang diberikan kepada manusia: maukah ia mempergunakan dan melaksanakan kemauan bebasnya? Kalau ia lakukan itu, maka seluruh kodratnya akan berubah.48 Dalam segala tingkah laku mereka jujur dan ikhlas, begitu juga dalam janji dan kata-kata. Mereka menjadi manusia teladan dalam masyarakat. Dalam kehidupan batin mereka bersungguh-sungguh dan mendalam, diimbangi oleh sikap dan cara hidup lahir. Ibadah mereka kepada Allah dapat tercermin dari kecintaan mereka kepada sesama manusia, sebab mereka selalu siap bersedekah. Disiplin diri mereka sangat tinggi sehingga setiap pagi hari yang pertama kali mereka lakukan dengan segala kerendahan hati ialah mendekatkan diri kepada Allah.49

5.Orang yang bertakwa berpegang teguh kepada ajaran Allah, mentaati Allah dan Rasul-Nya, memelihara batas-batas ketentuan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, konsisten, rendah hati dan dapat dipercaya

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Āli ‘Imrān/3: 102-103)
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (al-Mā′idah/5: 35)
Takwa yang sesungguhnya tercermin oleh rasa hormat yang sama dengan rasa cinta, sebab rasa cinta itu takut berbuat sesuatu yang tidak akan menyenangkan pihak yang dicintainya.50 Takwa ialah keinginan yang begitu kuat untuk menjauhi segala larangan Allah dan melawan hukum-Nya dengan berusaha sungguh-sungguh mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berjuang demi Allah.
51

6. Orang yang bertakwa mengingat firman Allah, mengikuti Al-Qur′an dan jalan Allah

Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (al-An‘ām/6: 153)
Dan ini adalah Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat. (al-An‘ām/6: 155)

7. Orang yang bertakwa berorientasi pada kehidupan akhirat dan berpandangan jauh ke depan
Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa. (al-Qashash/28: 83)
Menyombongkan diri atau angkuh adalah lawan daripada berserah diri kepada kehendak Allah; kerusakan adalah kebalikan daripada perbuatan baik yang merupakan hasil ketakwaan.

8. Orang yang bertakwa memiliki kesadaran sejarah sehingga dapat mengambil pelajaran dari pengalaman umat terdahulu dan mampu mengambil pelajaran dari fenomena alam

Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”. Maka Kami jadikan (yang demikian) itu peringatan bagi orang-orang pada masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 65-66)
Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa. (Yūnus/10: 6)
Orang yang bertakwa menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah yang begitu menakjubkan; kesamaan dan tata letak dalam perbedaan alam yang begitu luas. Ia menyadari keagungan angkasa dan bumi, luasnya ruang yang dapat dicapai oleh imajinasi manusia, begitu jauh namun begitu dekat dalam kehidupan. Gejala sehari-hari yang timbul dari adanya hubungan langit dan bumi ialah pergantian siang dan malam; begitu tetap namun berganti-ganti sepanjang musim serta dalam garis lintang bumi. Malam untuk beristirahat dan siang untuk bekerja; dan manusia dapat melihat kerja itu dalam arti keindahan alam. Kapal-kapal yang megah “mengalir” mengarungi lautan, untuk keperluan komunikasi dan per-dagangan antar manusia. Lautan pun dapat mengabdi kepada manusia yang tidak kurang pula dari fungsi darat, dan saling memberi antara lautan, langit, angkasa dan bumi, yang lebih jauh dicontohkan oleh adanya hujan. Hujan mendatangkan kesuburan bumi.
Di sini manusia diingatkan pada dunia pertanian serta ternak yang digunakan dan segala macam makhluk hidup yang masing-masing memberi sumbangan dalam tugas-tugas berputarnya alam ini. Hal ini mengajak manusia lebih jauh melihat perputaran angin yang begitu menakjubkan, ruang udara, yang oleh manusia sedang dijelajahi dan diarungi. Personifikasi angin yang menyeret awan di langit seperti “budak” yang mempunyai segi lain di samping memberi hujan. Matahari yang begitu indah saat terbenam, diusap oleh awan lembut yang tipis; pada tengah hari awan itu melunakkan sengatan panas matahari, dan sepanjang waktu ia sangat mempengaruhi radiasi dan perkembangan lain yang berlangsung di langit. Manusia mengingat pertalian hidupnya dengan kehendak dan kekuasaan Allah sehingga ia memiliki kearifan untuk melihat semua itu.52

9. Orang yang bertakwa memegang teguh ikrar: “Sungguh, salatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan semesta alam‟
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. (al-An‘ām/6: 162)

10. Orang yang bertakwa berakhlak Al-Qur′an, dalam arti mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukannya dalam segala aspek kehidupan, dengan membaca dan memahami isinya serta mengamalkannya
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (Fāthir/35: 32)
Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya. Orang yang menempuh jalan tengah ialah orang-orang yang kebaikannya sebanding dengan kesalahannya, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.

11. Orang yang bertakwa tidak ragu-ragu; berani mengatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah; mampu membedakan yang haq dan yang batil dengan pikiran, perkataan dan perbuatan
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengeta-huinya. (al-Baqarah/2: 42)

12. Orang-orang bertakwa mena‘ati Allah dan Rasul-Nya sepenuh kemampuan; tenaga, pikiran, perasaan, kata, perbuatan dan harta benda
Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (al-Baqarah/2: 285)
Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, “Kami mendengar, dan kami taat.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (an-Nūr/24: 51)
Buah takwa hanya dapat dirasakan oleh muttaqīn; dan hanya orang bertakwa yang dapat membimbing orang lain menjadi muttaqīn.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Catatan:

  1. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), . Dalam uraian berikutnya kata takwa digunakan sebagaimana tertera dalam kamus tersebut.
  2. Abū Luis Ma‘luf, Al-Munjid fil-Lugah wal-A‘lām, (Beirut: Dārul-Masyriq, 1986), h. 910.
  3. Ibnu Manshūr, Lisānul-‘Arab, Jilid III, (t.k: Dārul- Lisānil-‘Arab, t.th.), h. 971-2
  4. ‘Abdullāh ‘Abbās Nadwī, Vocabulary of the Holy Quran, (t.k.: t.p, 1996), h. 737-738.
  5. ‘Abdullāh ‘Abbās Nadwī, Vocabulary of the Holy Quran, h. 737-738.
  6. Muhammad Husain Haikal dkk., Mu‘jam Alfazihl-Qur′ān al-Karīm, Jilid III (1970), h. 877-878.
  7. al-Qūmī, Gharā′ibul-Qur′ān wa Ragā′ibul-Furqān, Jilid 1 (1962), h. 142.
  8. al-Qūmī, Gharā′ibul-Qur′ān, Jilid I, h. 143-144.
  9. Riwayat Hākim dalam Mustadrak, kitab al-Adāb, no. 218
  10. Riwayat at-Tirmidzī dalam Sunan at-Tirmidzī, bab ittaqil mahārima, no. 3305.
  11. Abū Muhammad ‘Abdul Jalīl bin Mūsā al-Andalūsī, Syu‘abul Imān, (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 247-248
  12. al-Azhar-Kementerian Wakaf Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, al-Muntakhab dalam Tafsir Al-Quran al-Karim, (Kairo: 2001), h. 129.
  13. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Alī, Qur′an Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 149.
  14. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Alī, Qur′an Terjemahan dan Tafsirnya, h. 1293.
  15. Abū ‘Abdillāh Muhammad bin Yazīd bin Mājah al-Qazwinī, Sunan Ibnu Mājah, juz II, (Beirut: Dārul Fikr, t.th.), h. 553.
  16. Riwayat Ibnu Mājah dalam Sunan Ibnu Mājah, bab al-Warā′ wat-Taqwā, no, 4356. h. 553.
  17. Ibnu Mājah, Sunan Ibnu Mājah, h. 553.
  18. az-Zamakhsyarī, Tafsir al-Kasysyāf , Juz 1, (t.tt: t.p, t.th), h. 450.
  19. Muhammad Rasyid Ridhā, Tafsīr al-Manār, jilid 1, (Kairo: Dārul Manār, 1950), h. 7.
  20. Muhammad Rasyid Ridhā, al-Wahy al-Muhammadī, (t.tt: al-Maktabul Islāmī, t.th.), h. 190-191.
  21. Ahmad Mushthafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, Juz I, terjemah M. Thalib (Solo: CV Ramadhani, 1989), h. 28-29.
  22. Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur′an al-Karīm, terjemah Herry Noer Ali, (Bandung: CV Diponegoro, 1989), jilid I, h. 130.
  23. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Alī, Qur′an Terjemahan dan Tafsirnya, h. 17.
  24. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Alī, Qur′an Terjemahan dan Tafsirnya, jilid III, 1995, 1638.
  25. Maulānā Muhammad ‘Alī, Qur′an Suci terjemah H.M. Bachrun, (Jakarta: Dārul Kutubil Islamiyah, 1979), h. 10, 107, 1585.
  26. Dikutip M. Dawam Rahardjo dalam bukunya Ensiklopedi Al-Qur′an, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 159.
  27. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), jilid I, h. 114-115.
    28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), volume 1, h. 88.
    29K. H. A. Shaleh dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran, (Bandung: CV Diponegoro, 2006), h. 423.
    30 K. H. A. Shaleh dkk., Asbabun Nuzul, h. 423.
    31 ar-Rāgib al-I☺fahānī, Mu‘jam Mufradāt Alfā♂il-Qur′ān, (Beirut: Dārul Fikr, t.th.), h. 568.
    32 Dalam surah ini, Allah mengajarkan kepada manusia untuk bersabar ketika mereka dizalimi dan bila harus membalas, maka hendaknya bisa membalasnya dengan balasan yang setimpal dan tidak berlebihan. K. H. A. Shaleh dkk., Asbabun Nuzul, h. 317.
    33K. H. A. Shaleh dkk., Asbabun Nuzul, h. 317.
    34 Ibnu Man♂ūr, Lisānul-‘Arab, jilid I, h. 921, Abū Luis Ma‘lūf, al-Munjid, h. 199.
    35Ibnu Man♂ūr, Lisānul-‘Arab, h. 838, Abū Luis Ma’luf, Al-Munjid, 180.
    36Ibrāhīm Unais, al-Mu‘jam al-Wasī•, Jilid II, (t.tt: t.p, 1972), h. 1052.
    37K. H. A. Shaleh dkk., Asbabun Nuzul, h. 59.
    38al-Azhar-Kementerian Wakaf Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, al-Muntakhab dalam Tafsir Al-Qur′an al-Karim, (Kairo: 2001), h. 55.
    39al-Azhar-Kementerian Wakaf Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, al-Muntakhab, h. 649.
    40al-Azhar-Kementerian Wakaf Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, al-Muntakhab, h. 852.
    41al-Azhar-Kementerian Wakaf Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, al-Muntakhab, h. 59.
    42al-Azhar-Kementerian Wakaf Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, al-Muntakhab, h. 567.

2 komentar: