MANUSIA DAN AGAMA

Antara manusia dan agama tidak bisa dipisahkan.Kebermaknaan hidup manusia ditentukan oleh faktor agama. Agama mengandung aspek keyakinan, tata aturan peribadatan, dan tata nilai moral, yang implikasinya bukan hanya terbatas pada kehidupan profan di dunia tetapi juga pada kehidupan di akhirat (hidup sesudah mati). Agama telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia jika mereka ingin menjadikan hidup dan kehidupan ini bermakna. Di bawah ini akan dibahas keterkaitan antara manusia dengan agama, dimulai dengan membahas jatidiri manusia sebagai khalifah, fitrah keberagamaan atau berketuhanan, dan bagaimana fungsi agama bagi kehidupan manusia. Fungsi agama penting dibahas, karena agama yang tidak fungsional dalam kehidupan tidak akan memberi kebermaknaan hidup bagi pemeluknya.

Jatidiri Manusia Sebagai Khalifah
Perdebatan di kalangan para ilmuwan tentang siapa sesungguhnya manusia terus berlangsung hingga saat ini, dan belum ditemukan satu kesepakatan yang tuntas. Manusia tetap menjadi misteri yang paling besar dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Sri Madhava Ashish pertanyaan awal selalu muncul, “what is man?” (siapa sebenarnya manusia?) namun jawaban yang diberikan tidak pernah tuntas, “the question has been asked times and again, but it is hard to find a comprehensive answer.”1(pertanyaan ini telah berulang-ulang dilontarkan tetapi sangat sulit menemukan jawaban menyeluruh). Keterbatasan untuk menemukan jawaban menyeluruh dan tuntas itu menjadi salah satu alasan berbagai disiplin ilmu untuk berupaya memahami manusia dari aspek-aspek tertentu saja, dan pada akhirnya muncul berbagai sisi pandang yang kadang-kadang antara satu dengan lainnya saling menafikan.
Hasil pengamatan yang mendalam dan terstruktur sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan itu kemudian menempatkan manusia dalam berbagai teori, sangat tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya. Aliran psikoanalisis memandang manusia sebagai homo volens atau manusia yang
selalu digerakkan oleh keinginan-keinginan. Aliran behaviorisme melihat manusia sebagai homo mechanicus karena ia digerakkan semaunya oleh lingkungan. Aliran kognitif lebih melihat manusia sebagai homo sapiens yaitu makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya.
Sedangkan aliran humanisme, yang lebih anyar dari aliran-aliran tadi, memandang manusia sebagai homo ludens yaitu bahwa manusia adalah pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional
dengan lingkungannya.
Keterbatasan eksplorasi penalaran manusia tentang manusia (sebagai obyek dan subyek sekaligus) meniscayakan untuk melihat lebih dalam informasi profetik atau informasi yang diperoleh melalui wahyu, dalam hal ini Al-Quran. Karena, Al-Quran yang diyakini sebagai firman Allah tentu membawa informasi yang bersifat mutlak benar (absolut). Apa yang diinformasikan Al-Quran sebagai wahyu Allah itu tidak perlu diragukan lagi sebagai suatu kebenaran.2 Al-Quran, misalnya menginformasikan bahwa manusia adalah homo theophani atau makhluk berketuhanan yang selalu harus mempresentasikan kehendak Tuhan di bumi, dikenal dengan istilah khalīfah fīl-ardh.3 Manusia diberi amanah oleh Allah berupa tugas dan tanggung jawab (taklīf) agar dilaksanakan dalam kehidupan di dunia sebaik-baiknya. Berdasarkan informasi profetik, amanah ini telah ditawarkan kepada makhluk-makhluk lain, tetapi semuanya enggan menerimanya, kecuali manusia. Perhatikan firman Allah pada Surah al-Ahzāb/33: 72 berikut ini:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (al-Ahzāb/33: 72)

Manusia yang telah menerima amanah itu tentu berhak memperoleh keistimewaan sebagai konsekuensi logis dari tugas kekhalifahannya. Keistimewaan itu antara lain misalnya semua ciptaan Allah di bumi diperuntukkan baginya. Flora dan fauna, bahkan segala makhluk yang ada di bumi, diciptakan Allah untuk memberi services kepada manusia. Ada yang menjadi layanan langsung seperti makanan, minuman, obat-obatan, perlengkapan keperluan sehari-hari, tapi ada juga yang tidak langsung. Yang tidak langsung pada umumnya memberikan dukungan pada ekosistem agar keharmonisan makhluk-makhluk di bumi tetap terjaga sehingga manusia dapat hidup sejahtera menjalankan fungsi kekhalifahan dengan baik. Pendek kata, semua makhluk itu tercipta untuk kepentingan manusia. Perhatikan firman Allah dalam Surah al-Baqarah/2: 29 berikut ini:
Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Baqarah/2: 29)
Sebagai khalifah mereka harus memakmurkan bumi yang didiami bersama oleh beragam makhluk, mulai dari yang an-organik hingga makhluk hidup yang mampu memobilisasi dirinya dengan melata maupun dengan dua atau empat kaki4 mencari penghidupan dari kemurahan Allah. Makhluk-makhluk itu ditakdirkan beragam dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, ada pemakan daging (carnivora), serangga (insectivora), tumbuhan/buah-buahan (herbivora), dan sebagainya. Andaikata makhluk-makhluk itu hanya memakan satu jenis makanan saja, misalnya semuanya herbivora, maka hampir dapat dipastikan manusia tidak akan kebagian makanan, dan tentu saja, kekacauan akan terjadi dimana-mana. Sungguh, Allah Mahaadil,
Ia mengatur pemenuhan kebutuhan sangat beragam sehingga manusia pun memperoleh makanannya secara melimpah di alam ini. Dari buah-buahan saja sangat variatif dari mulai yang sangat manis, manis sedang, netral, sepat, pahit, dan sebagainya tersedia dengan aneka bentuk, warna, aroma dan rasa.5
Dukungan survival yang melimpah ruah yang terdapat pada alam belum mencukupi untuk memenuhi tugas sebagai khalifah. Mereka masih diberikan kelengkapan lain oleh Allah berupa modalitas untuk kesempurnaan tugasnya seperti instink (gharīzah), alat-alat indra, akal untuk berpikir dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Ahmad Musthafā al-Maraghī6 mengemukakan empat modalitas yang diberikan kepada manusia. Ia menyebutnya sebagai hidayah dari Allah,yaitu: hidāyatul-ilhām (instink), hidāyatulul-hawāss (indra),hidāyatul-‘aql (inteligensi), hidāyatul-adyān wasy-syarāi‘ (hukum-hukum agama). Hukum-hukum agama ini sangat penting untuk menata kehidupan secara fardiyah (individual) maupun jamaiyah (sosial), meskipun secara naluri keberagamaan (kebertuhanan) telah diinjeksikan ke dalam jiwa manusia, yang lazim disebut sebagai fitrah keberagamaan (kebertuhanan).
Fitrah ini akan tersambung (connected) dengan hukum-hukum agama yang diturunkan oleh Allah melalui kitab suci. Hukumhukum agama tersebut sudah kompatibel dengan fitrah yang ditanamkan Allah dalam diri manusia.

Fitrah Keberagamaan (Kebertuhanan)
Kecenderungan manusia berketuhanan telah di-built up sejak masa konsepsi sehingga ia menjadi innate dalam diri manusia. Perjanjian primordial antara Tuhan dengan roh manusia memperjelas kecenderungan berketuhanan yang telah tertanam dalam diri manusia untuk diwujudkan dalam kehidupan. Informasi Al-Qur′an tentang perjanjian primordial itu dapat dipahami dari Surah al-A‘rāf/7: 172 sebagai berikut: 
 
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (al-A‘rāf/7: 172)
Mayoritas ahli tafsir menggambarkan proses perjanjian itu terjadi ketika roh disatukan dengan jasad untuk memulai suatu kehidupan baru yang dinamis. Saat itu terjadi komunikasi dua arah antara roh manusia dengan Al-Khaliq yang menggambarkan transaksi sakral bahwa manusia di awal kehidupannya telah berikrar bertuhankan Allah.7 Bahwa kemudian dalam kenyataannya ada sebagian manusia yang mengingkari perjanjian sakral yang telah diikrarkan itu menjadi peringatan bagi setiap manusia agar tidak melempar tanggung jawab kepada siapa pun nanti di akhirat. Sementara itu, ada pula ahli tafsir8 yang berpendapat bahwa perjanjian primordial ituhanyalah metafora dalam bentuk tamsil. Ibaratnya, roh yangberasal dari unsur suci dari sejak awal telah melakukan sebuahjanji kepada Allah untuk melakukan kepasrahan dan kepatuhan kepada-Nya setelah menjalin hubungan dinamik dengan jasad. Keingkaran kepada Allah berarti keingkaran terhadap janji yang telah diikrarkan sejak awal kehidupan manusia. Pendapat mana pun yang diambil tidak mengurangi kenyataan bahwa kecenderungan berketuhanan telah ditanamkan ke dalam jiwa manusia secara innate dan dibawa sejak lahir.
Kecenderungan berketuhanan yang dibawa sejak lahir itu kemudian dikenal dengan istilah fitrah berketuhanan (keberagamaan). Salah satu ayat yang dijadikan alasan bahwa kebertuhanan (keberagamaan) adalah bersifat fithri adalah Surah ar-Rūm/30: 30 sebagai berikut:
 
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fithrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rūm/30: 30)
Kata fithrah lazim diartikan sebagai potensi, kecenderungan, tabiat, atau instink. Dalam At-Ta’rifat, fithrah diartikan sebagai potensi yang siap menerima agama.9 Potensi atau instink di sini dimaksudkan sebagai potensi atau instink yang berkecenderungan menerima ajaran Islam yang disyariatkan oleh Allah. Dengan fithrah yang suci itulah manusia terbimbing mengenal Tuhannya, Pencipta yang Mahatunggal.10
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan untuk berketuhanan, di samping kebutuhan-kebutuhan biologis dan sosiologis. Kebutuhan berketuhanan kadang-kadang menjadi kerdil, pudar, bahkan mungkin hilang sementara waktu karena tidak mendapatkan stimuli yang memadai dari lingkungan sosial manusia. Bagi manusia yang lahir dan dibesarkan di dalam masyarakat yang jauh dari kebertuhanan maka kebutuhan yang bersifat asasi dan innate tadi boleh jadi menjadi kerdil, pudar, maupun hilang untuk sementara waktu.
Disebut sementara waktu karena pada umumnya akan muncul kembali di saat-saat manusia mengalami persoalan hidup berat atau bahkan ketika kehidupannya terancam. Di saat seperti itu manusia akan kembali kepada kebutuhan asasinya dengan ‘memanggil’ institusi yang amat sakral yang dianggap dapat menolongnya terbebas dari kemelut, yaitu Tuhan, entah dengan nama atau kode apa pun yang terlintas di dalam pikiran manusia ketika itu. Apa yang dialami oleh Fir‘aun ketika merasa ajalnya akan tiba dan tak mampu lagi menolong dirinya sendiri di tengah ganasnya ombak lautan ia pun menyatakan kebertuhanannya, meskipun sudah terlambat. Perhatikan Surah Yūnus/10: 90 berikut ini:
Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Fir‘aun dan bala tentaranya mengikuti mereka, untuk menzalimi dan menindas (mereka). Sehingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).”(Yūnus/10: 90)
Di saat-saat kemelut yang mengancam kehidupan hampir semua manusia berupaya kembali kepada fitrah kebertuhanannya untuk dijadikan sebagai harapan terakhir mengatasi kemelut, seperti diilustrasikan ayat di atas. Sementara itu mereka yang tak terbelenggu oleh berbagai keadaan tentu dengan bebas dapat mengekspresikan kecenderungan berketuhanannya melalui berbagai bentuk pemujaan dan penghambaan kepada Zat Yang Mahaagung di setiap kesempatan. Tidak tergantung pada ada atau tidaknya krisis melanda kehidupannya, tetap melakukan pemujaan dengan cara-cara yang benar yang telah mereka peroleh melalui informasi profetik.
Sepanjang sejarah manusia selalu ditemukan jejak-jejak pemujaan terhadap Zat Yang Mahaagung yang dianggap dapat memberikan keselamatan, keamanan, kedamaian hidup, kesejahteraan yang melimpah serta menjauhkan mereka dari segala marah bahaya. Hal ini menandakan bahwa kecenderungan berketuhanan telah ada sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Penamaan dan cara pandangnya yang berbeda-beda, tergantung pada latar belakang dan pemahaman yang diyakininya. Pada sebagian masyarakat primitif yang tingkat ketergantungannya pada alam masih sangat tinggi maka pemujaan pada alam juga cenderung tinggi, kecuali mereka telah memperoleh pencerahan dari agama-agama yang dibawa oleh para utusan Allah.
Menurut Mukti Ali terdapat banyak sarjana di bidang perbandingan agama yang terpengaruh atau paralel dengan teori evolusi anthropologi yang diyakini oleh Charles Darwin.11 Mereka beranggapan bahwa kebertuhanan manusia berproses secara evolusi hingga mencapai kesempurnaannya pada monoteisme. Dengan demikian ditemukan dua pandangan tentang teori kebertuhanan manusia. Pertama, teori tentang evolusi kebertuhanan manusia yang berproses dari mulai dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme12, hingga mencapai puncaknya monoteisme. Pendapat ini umumnya diyakini para saintis Barat. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada evolusi dalam kebertuhanan manusia sejak dari dulu hingga sekarang. Mulai dari Adam ‘alaihis salām hingga Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam semua bertauhid (monoteisme), tidak ada yang mengajarkan lebih dari satu Tuhan atau berproses dari dinamisme ke monoteisme sebagaimana pendapat pertama di atas. Kalau ada manusia yang meyakini lebih dari satu Tuhan maka hal itu adalah penyimpangan. Perhatikan apa yang terjadi pada sebagian umat Nabi Isa yang menganggap ada tiga Tuhan, Al-Qur′an datang mengoreksinya, bahwa Tuhan adalah Maha Esa, tidak pantas manusia beranggapan Tuhan lebih dari satu.13 Monoteisme murni yang diajarkan oleh para rasul ini yang dikenal dalam istilah perbandingan agama sebagai oer-monotheism (monoteisme murni), bukan hasil dari sebuah evolusi. Mukti Ali, dalam bukunya yang lain, menulis lebih jelas: “Sekalipun teori evolusionisme itu oleh sarjana-sarjana ilmu alam dapat dikatakan diterima, tetapi sarjana-sarjana agama tidak perlu harus menerima teori itu. Maka timbullah aliran oer-monotheism (monoteisme asli) atau primitive monotheism. Aliran ini berpendapat bahwa agama tidak melalui evolusi, dari bertuhan banyak menjadi bertuhan satu, tetapi agama sejak dari dulu adalah monoteisme dan ber-Tuhan satu.”14
Ayat-ayat Al-Qur′an yang berkenaan dengan kebertuhanan manusia selalu mengarahkan manusia kepada tauhid (monoteisme) murni. Atau, bahkan dapat dikatakan bahwa fitrah manusia itu adalah beragama tauhid. Para nabi yang diutus oleh Allah membimbing manusia selalu mengajarkan tauhid itu. Salah satu ayat yang mengindikasikan hal ini adalah Surah asy-Syūrā/42: 13:
 
Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu(Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya). (asy-Syūrā/42: 13)
Dari ayat ini dan ayat-ayat lain yang berkorelasi dapat disimpulkan bahwa para utusan Allah sejak awal telah mengajarkan tauhid (monoteisme) kepada umat manusia, bukan hasil sebuah proses evolusi sebagaimana dipercayai oleh penganut evolusionisme. Para ahli tafsir menegaskan bahwa agama yang dibawa para rasul adalah agama tauhid, tidak ada perbedaan dari rasul pertama hingga yang terakhir, Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Perintah menegakkan agama dalam ayat tersebut di atas adalah menegakkan agama tauhid sebagaimana telah dilakukan oleh para rasul terdahulu.15 Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa pada masyarakat primitif di berbagai belahan dunia juga ditemukan kecenderungan berketuhanan dan konsepnya adalah monoteisme. Wilhelm Schmidt, yang menghabiskan umurnya untuk melakukan penelitian tentang kepercayaan suku-suku primitif, sebagaimana dikutip Mukti Ali, menyimpulkan bahwa banyak suku primitif di Afrika, Amerika Utara, dan Australia telah mengenal monoteisme sejak awal. Demikian juga yang dilakukan M. Dubois di Madagaskar memberi kesimpulan sama.16 Dengan perkataan lain, bukan hanya informasi profetik yang menyatakan bahwa monoteisme adalah bentuk awal dan akhir dari kepercayaan manusia sebagaimana diajarkan oleh para rasul, tetapi juga berdasarkan penyelidikan para ahli di bidang kepercayaan umat manusia bahwa kecenderungan berketuhanan manusia adalah monoteisme.
Bahwa ada yang berkeyakinan tidak monoteisme atau mengingkari sama sekali harus dianggap sebagai penyimpangan dari fitrah berketuhanan.
Hal ini juga yang ditemukan dalam kegelisahan Ibrahim di tengah-tengah pemujaan berhala oleh masyarakat yang dilegalkan oleh pemerintah kerajaan ketika itu. Pergulatan pemikiran Ibrahim (sebagian menyebutkan bahwa pergulatan pemikiran ini bukan pada diri Ibrahim, tetapi fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat dimana Ibrahim tinggal), mampu menyelesaikan masalah dari fenomena-fenomena alam yang terkoneksi dengan kecenderungan kerketuhanan monoteisme (tauhid) pada dirinya. Mula-mula kemunculan bintang di langit mengesankan sebagai Tuhan, lalu muncul bulan, kemudian matahari yang lebih besar dan lebih anggun, tapi ternyata kesemuanya tenggelam (hilang dari pandangan) dan tak pantas dijadikan sebagai yang agung. Ibrahim sampai pada suatu kesimpulan bahwa, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi (termasuk bintang, bulan, dan matahari) dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”17


Fungsi Agama bagi Kehidupan Manusia
Secara garis besar fungsi agama bagi kehidupan manusia dapat dilihat dari aspek personal dan sosial. Dari aspek personal agama berfungsi memenuhi kebutuhan yang bersifat individual, misalnya kebutuhan akan keselamatan, kebermaknaan hidup, pembebasan dari rasa bersalah, kekhawatiran menghadapi maut dan kehidupan sesudahnya, dan sebagainya.
Sementara dari aspek sosial agama berfungsi memberi penyadaran tentang peran sosial manusia dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ikatan persaudaraan (al-ukhuwwah) yang menimbulkan kohesi kuat, kesadaran akan keberagaman, hubungan transaksional, dan berbagai macam penyelesaian masalah-masalah sosial menjadi bidang tugas dari agama dalam menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Aspek personal berkaitan dengan kesalehan individual. Setiap individu harus mempresentasikan diri sebagai hamba yang senantiasa memelihara hubungannya secara vertikal dengan Al-Khalik. Ketaatan menjalankan ajaran agama yang berkaitan dengan ibadah-ibadah khusus yang bersifat personal mencerminkan kesalehan individual. Sedangkan aspek sosial berkaitan dengan kesalehan sosial, misalnya memelihara hubungan interpersonal yang harmonis dengan sesama manusia, saling menolong dalam kebaikan, dan peran sosial lainnya yang diajarkan oleh agama.
Fungsi agama dari aspek personal dapat dielaborasi menjadi beberapa kategori antara lain sebagai berikut:

1. Fungsi Edukasi dan Bimbingan
Tak dapat disangkal bahwa agama memberikan edukasi kepada manusia melalui risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul kemudian secara terus menerus dari generasi ke generasi disampaikan oleh para pemuka agama yang dianggap sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiyā').
Agama memiliki otoritas untuk melakukan pembimbingan dalam berbagai hal untuk meraih kebahagiaan dan menjauhkan dari segala malapetaka kehidupan. Agama mengajarkan segala sesuatu yang diperlukan dalam mencapai tujuan hidup manusia. Para nabi dan rasul pembawa agama Allah memiliki tugas edukasi mengajarkan isi kitab suci kepada umatnya. Firman Allah dalam Surah al-Baqarah/2: 151.18
 
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (AlQur′an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui. (al-Baqarah/2: 151)
Pendidikan, pelatihan, dan bimbingan yang bercorak agama senantiasa muncul di tengah-tengah komunitas masyarakat beragama sebagai indikator kebutuhan manusia akan ajaran agama yang mampu memberi nilai kehidupannya. Di sisi lain agama memerankan fungsinya sebagai pendidik dan pembimbing bagi pemeluknya untuk menjadi lebih baik dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

2. Fungsi Penyelamatan
Kehidupan manusia penuh dengan masalah yang tidak selalu dapat diselesaikan dengan mudah atau belum sepenuhnya mampu dipecahkan oleh indra dan akal pikirannya. Ada banyak misteri yang muncul dalam kehidupan dan belum mampu disingkap mengapa hal itu terjadi. Peristiwa kematian, bencana alam, dan berbagai problem yang tak mampu diatasi menunjukkan keterbatasan dan kelemahan esensial pada diri manusia.
Namun, dari hati kecilnya yang paling dalam muncul keinginan agar harapan-harapannya senantiasa terpenuhi, terhindar dari berbagai krisis, bahkan ingin selamat di dunia dan di akhirat. Untuk itu, berbagai upaya dilakukan agar Tuhan mau hadir dalam kemelut dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi, misalnya melalui doa, zikir, dan amalan-amalan lain yang diajarkan oleh agama.
Agama memberi jalan untuk memperoleh keselamatan, mengatasi berbagai krisis, dan mampu memenangkan pertarungan melawan kemungkaran, kezaliman, dan segala bentuk ketidakadilan. Allah akan memberikan jalan keselamatan apabila menjalankan ajaran agama dengan baik. Allah berfirman dalam Surah al-Mā'idah/5: 16 sebagai berikut: 
 
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Māidah/5: 16)
Agama memberi jaminan keselamatan kepada seluruh pemeluknya yang taat menjalankan ajaran agamanya dengan ikhlas. Siapa pun yang taat menjalankan agamanya (bertakwa) akan menemukan jalan keluar dari kemelut yang dihadapinya.19 Intervensi Tuhan dalam penyelamatan itu dapat mengambil bentuk spontan (theophania spontanea) yaitu ketika Zat Yang Mahaagung itu berkenan ‘hadir’ secara spontan dalam menyelesaikan krisis yang dialami oleh manusia. Dalam situasi yang sangat genting Tuhan datang menolong di saat-saat diperlukan seperti terjadi pada mukjizat para nabi. Bentuk penyelamatan yang lain adalah yang diupayakan melalui permohonan agar Tuhan berkenan datang menolong, dikenal dengan istilah theophani invocativa.20 Tuhan sendiri memperkenalkan diri-Nya dalam posisi dekat,21 bahkan lebih dekat dari urat nadi,22 dan senantiasa akan menolong hamba-Nya kapan saja diperlukan sepanjang yang bersangkutan juga selalu menolong agama Allah.23


3. Fungsi Tabsyīr dan Inzhār
Sudah menjadi ciri dalam kehidupan selalu ada pasangan berlawanan. Ada pria dan wanita, ada siang dan malam, ada suka dan duka, ada ganjaran (reward) dan ada hukuman (punishment), begitu pula dalam fungsi agama, ada tabsyīr (kabar gembira) dan ada inzhār (peringatan). Agama memberi kabar gembira kepada semua orang yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik untuk mendapatkan pahala. Hal ini dimaksudkan sebagai penguatan untuk senantiasa tetap dalam posisi itu bahkan lebih baik lagi. Sementara peringatan ditujukan kepada orang yang tak mau perduli terhadap ajaran agama dan membiarkan dirinya dalam kesesatan. Terdapat dua jalan yang terbentang, jalan kebenaran dan jalan kesesatan.
Agama datang mengajak manusia kepada jalan kebenaran dan menghindar dari jalan kesesatan. Dengan demikian, tidak ada pelampiasan tanggung jawab ketika manusia berhadapan dengan pengadilan di hari penegakan hukum di akhirat. Para pembawa risalah telah dengan tegas menyampaikan kabar gembira (tabsyīr) dan peringatan (inzhār) ini kepada seluruh umatnya.
Berkaitan dengan fungsi agama menyampaikan tabsyīr dan inzhār ini seharusnya manusia dapat mengambil pelajaran berharga untuk menampilkan aktivitas-aktivitas yang memperoleh apresiasi tabsyīr. Allah berfirman dalam Surah al-An‘ām/6: 48. 24 
 
Para rasul yang Kami utus itu adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (al-An‘ām/6: 48)
Sedangkan fungsi agama dari aspek sosial dapat dielaborasi menjadi beberapa kategori antara lain sebagai berikut:

1. Fungsi Ukhuwah
Salah satu kecenderungan sosial manusia adalah berafiliasi atau berkelompok sesuai dengan identitas yang dianggapnya dapat memberikan keterwakilan. Kelompok yang terbentuk atas identitas yang sama, lazim disebut sebagai kesatuan sosiologis. Terdapat banyak kesatuan  sosiologis dalam masyarakat, misalnya kesatuan sosiologis yang terbentuk karena kesamaan darah, etnis, kelas, bahasa, senasib sepenanggungan, tujuan pragmatis, ideologis, dan kesatuan iman keagamaan. Menurut Hendropuspito, di antara kesatuan sosiologis yang ada, kesatuan iman keagamaan yang tertinggi yang dikenal manusia di dunia ini. Karena, dalam komunitas ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya melainkan totalitas pribadinya dalam satu keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi (ultimate) yang diyakini bersama.25
Telah dimaklumi bahwa Allah menciptakan manusia beragam dalam ras, etnis, suku, warna kulit, bahasa, dan perbedaan lainnya. Perbedaan itu bukan untuk saling memusuhi atau saling merendahkan, tetapi hendaklah
saling mengenal karena pada dasarnya perbedaan-perbedaan itu dalam pandangan Allah tidak signifikan, kecuali faktor ketakwaan yang ada di dalam hati masing-masing dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.26 Dari perkenalan itu dapat muncul sinergi untuk melakukan aktivitas bersama dalam rangka memakmurkan bumi.
Kesatuan sosiologis atas dasar keimanan membentuk kohesi yang sangat kuat karena di dalamnya terkait dengan hal-hal sakral dan metafisis. Agama mempersaudarakan antarsesama seiman apa pun etnis, bahasa, atau warna kulitnya. Potensi-potensi yang dapat mengancam keretakan kohesi persaudaraan (ukhuwah) harus direduksi dengan upaya-upaya semacam ishlāh. Allah berfirman dalam Surah al-Hujurāt/49: 10 sebagai berikut: 


Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (al-Hujurāt/49: 10)
Fungsi agama mempersaudarakan antar sesama seiman telah ditunjukkan dengan sangat anggun oleh para sahabat kaum Ansar dan Muhajirin di Medinah.Al-Quran menginformasikan bagaimana seharusnya persaudaraan itu membentuk empati, sebagaimana dilukiskan dalam Surah al-Hasyr/59: 9:
Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Medinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (al-Hasyr/59: 9)
Ayat ini turun berkenaan kasus Abū Thalhah (yang lain menyebut: Tsābit ibn Qays, atau Abū Nasir Abd ar-Rahīm) yang begitu berempati kepada saudaranya seiman ‘pengungsi’ dari kaum Muhajirin. Ia sendiri kesulitan dalam hidupnya tetapi masih tetap mengutamakan saudaranya meski harus memberikan makanan yang tadinya untuk anak balitanya.27 Walaupun ayat ini turun sebagai apresiasi terhadap sikap empati yang ditunjukkan seorang Ansar kepada Muhajirin, namun kondisi itu merata pada hampir semua kaum Ansar. Faktor senang membantu kepada saudara seiman itu merupakan gejala umum yang terjadi pada masyarakat Medinah sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama.

2. Fungsi Kontrol Sosial
Salah satu fungsi penting agama adalah kontrol sosial. Agama memberi legitimasi untuk melakukan kontrol terhadap perilaku sosial masyarakat. Setiap sikap dan perilaku anggota masyarakat harus sejalan dengan norma-
norma agama. Sikap dan perilaku yang baik atau sejalan dengan norma agama maka harus didukung, sementara sikap dan perilaku buruk atau bertentangan dengan norma agama harus dihentikan. Fungsi ini oleh Al-Quran diperkenalkan dengan istilah “amar makruf nahi munkar”.
Tugas ber-amar makruf dan nahi munkar adalah tugas bersama baik dilakukan secara pribadi-pribadi maupun berkelompok untuk menjamin ketertiban masyarakat yang diridai oleh Allah.
Dalam sebuah komunitas agama seringkali ada anggota yang bersikap dan berperilaku menyimpang dari aturan, baik disengaja maupun tidak disengaja karena kebodohannya, sehingga diperlukan adanya kepedulian bersama untuk menjaga aturan-aturan agama agar tidak dilanggar oleh anggota komunitas sosial itu.
Dalam Surah Āli ‘Imrān/3: 104 Allah berfirman:
 
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Āli ‘Imrān/3: 104)
Dalam menerapkan fungsi kontrol sosial melalui amar makruf nahi munkar tentu sesuai dengan cara-cara yang baik dan santun sebagaimana semangat berdakwah di jalan Allah dengan bijak (hikmah), nasihat yang baik, dan debat atau diskusi yang anggun.28


3. Fungsi Penyadaran Peran Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ia tak dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Hewan pada umumnya bahkan lebih kuat melawan alam dan perjuangan hidup daripada manusia. Beberapa jenis hewan begitu ia dilahirkan hanya dengan hitungan menit atau jam sudah mampu berdiri dan mencari makan sendiri. Bandingkan manusia yang memerlukan waktu lebih lama dalam perawatan (nurture), boleh jadi melibatkan banyak orang sehingga manusia dalam hal ini dianggap lemah.29 Ketika ia memiliki kemampuan wajar apabila diminta memiliki kesadaran untuk berperan dalam kehidupan sosial.
Kenyataan lain yang tak dapat disangkal pula adanya anggota masyarakat yang kurang beruntung karena kondisi mereka yang terpuruk dalam kemiskinan, yatim, jompo, tawanan perang, dan orang-orang yang lemah secara finansial, fisik, maupun psikis. Agama datang menyadarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang perlu dibantu, disantuni, dan dibimbing. Penyadaran peran sosial itu misalnya keharusan berzakat, berinfak, memberi makan anak yatim, tidak menghardik peminta-minta, dan sebagainya. Karena, pada harta yang dimiliki manusia ada hak orang lain. Perhatikan misalnya firman Allah dalam Surah Adz-dzāriyāt/51: 1930 berikut ini: 
 
Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta. (Adz-dzāriyāt/51: 19)
Bagi mereka yang tidak menjalankan peran sosialnya, terutama dalam pelayanan finansial terhadap orang-orang lemah seperti fakir miskin dan anak yatim, dianggap sebagai pendusta agama. Surah al-Mā‘ūn/107: 1-3 menjelaskan 

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (al-Mā‘ūn/107: 1-3)
Wallāhu a‘lam bish shawāb.
Catatan
1 Sri Madhava Ashish, Man, Son of Man: In the Stanzas of Dzyan. (London: Rider & Company, 1970) h. 36
2 Lihat Surah al-Baqarah/2: 147; Āli ‘Imrān/3: 60; Yūnus/10: 94.
3 Lihat Surah al-Baqarah/2: 30; al-An‘ām/6: 165; Yūnus/10: 14;Fāthir/35: 39.
4 Lihat Surah an-Nūr/24: 45.
5 Lihat Surah al-An‘ām/6: 141; an-Nah}l/16: 13; Fāthir/35: 27; az Zumar/39: 21.
6 Ahmad Musthafa al-Marāgh³. Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, t.th.), juz I, h. 35.
7 Lihat misalnya Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur'an Al-‘Azhīm. (Beirut: Dar Thayyibah li An-Nasyr wa al-Tawzi’, 1999), juz 3, h. 500.
8 Seperti az-Zamakhsyari. Lihat Abu Al-Qasim Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, (Beirut: Darul-Kutub, t.th) juz II, h.
310.
9 Ali ibn Muhammad ibn Ali Az-Zain asy-Syarif al-Jurjani, At-Ta‘rifat. (t.t: t.p, t.th.) Juz 1, h. 53; Lihat juga Majduddin Abu As-Sa‘adat Al-Mubarak ibn Muhammad Al-Jazari ibn al-Ashir. An-Nihayah fi Gharibil-Hadits wal Ashar. (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyah, 1979) juz 3, h. 882.
10 As‘ad Huwmid, Aisar At-Tāfasir, (t.t: t.p, t.th.), Juz 1, h. 3321. http://www.altafsir.com
11 A. Mukti Ali, Asal Usul Agama. (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971), h.10.
12 Henoteisme adalah sebuah masa transisi dari politeisme ke monoteisme. Mereka memercayai banyak Tuhan tapi berbeda dengan Tuhan-tuhan yang disembah dalam politeisme yang derajat Tuhan sama. Dalam henoteisme ada Tuhan yang sifatnya lokal, yaitu yang dijadikan sebagai simbol suku-suku lokal. Kemudian ada Tuhan yang statusnya sebagai Tuhan nasional yang mempersatukan mereka sebagai bangsa (etnis), dan ada Tuhan yang bersifat internasional yang melingkupi seluruh jagad raya dan Tuhan-tuhan di bawahnya. Masyarakat Arab kuno memercayai Tuhan dengan model henoteisme, tiap kabilah punya sembahan masing-masing bersifat lokal, lalu ada yang lebih tinggi derajatnya seperti Lata, Manat, dan Uzza yang mempersatukan mereka antaretnis Arab. Sementara yang paling tinggi sebagai pencipta langit dan bumi dan menjadi Tuhan bersama manusia seluruh jagad raya ini adalah Allah (lihat Surah Al-‘Ankabūt/29: 61, 63; Luqmān/31: 25; az-Zumar/39: 38; az-Zukhruf/43: 9, 87).
13 Lihat Surah an-Nisā'/4: 171; al-Mā'idah/5: 73.
14 A. Mukti Ali. Ilmu Perbandingan Agama. (Yogyakarta: Nida, 1975), h.24.
15 Lihat misalnya Muqatil ibn Sulaiman ibn Basyir, Tafsir Muqatil. (t.t: t.p, t.th.) Juz 3, h. 206; Muhammad Asy-Syaukani, Fath}ul Qadir. (t.t: t.p, t.th.) Juz 6, h. 372 (www.altafsir.com); Abu Abdullah Al-Qurt}ubi}, Al-Jami’ Li Ah}kāmil Qur'ān. (Beirut: Maktabah Misykat Al-Islamiyah, 1372H) juz 16, h. 10.
16 Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, h. 16-17.
17 Lihat Surah al-An‘ām/6: 75-79.
18 Lihat juga Surah al-Baqarah/2: 129; Āli ‘Imrān/3: 164; al-Mā'idah/5:
110; al-Jumu‘ah/62: 2.
19 Lihat Surah Ath-thalaq/65: 2-3.
20 Lihat lebih lanjut D. Hendropuspito, Sosiologi Agama. (Jakarta:Kanisius, 1994) h. 41.
21 Lihat Surah al-Baqarah/2: 186.
22 Lihat Surah Qāf/50: 16
23 Lihat Surah Muhammad/47: 7.
24 Lihat juga Surah al-Baqarah/2: 119, 213; an-Nisā'/4: 165; al-Kahf/18: 56; Saba'/34: 28; Fāthir/35: 24; Fushshilat/41: 4.
25 Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 53.
26 Lihat Surah al-Hujurāt/49: 13.
27 Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur'an., juz 18, h. 24-25. 28 Lihat Surah an-Nahl/16: 125.
29 Lihat Surah an-Nisā'/4: 28.
30 Lihat juga Surah al-Ma‘ārij/70: 24-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar